1.1.Pendahuluan
Sumatera Barat adalah Provinsi yang
mempunyai sejuta cerita sejarah panjang, dimana setiap sejarahnya mempunyai
makna tersendiri bagi masyarakat Ranah Minangkabau. Sejarahnya yang bermula
pada masa era kerajaan Adityawarman, yang merupakan salah satu tokoh penting di
Tanah Minang.
Adityawarman adalah seorang raja
yang sangat berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau
juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak
pemerintahaan raja Adityawarman, tepatnya pertengahan di abad ke-17, Provinsi
ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh
yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai
berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera
Barat.
Agama Islam sebagai nilai baru yang
menjadi landasan sosial budaya masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat
MinangKabau yang sebelumnya mendominasi Agama Buddha. selain itu di
kawasan Sumatera Barat yaitu pantai Pesisir Barat masih berada di bawah
kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kerajaan
kesultanan Aceh.
Melirik
sejarah singkat MinangKabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan
kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya
merupakan tanah yang lapang, namun karena adanya isu yang berkembang bahwa
kerajaan Pagaruyung akan di serang oleh kerajaan Majapahit dari provinsi jawa
maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut
mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan
perkelahian maka muncul lah kata “MinangKabau”
yang selanjutnya dijadikan nama Nagari atau desa tersebut.
Upaya penduduk setempat mengenang
peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah
loteng (Rangkiang) dimana atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut ahli
sejarahwan, rumah tersebut didirikan dibatas tempat bertemunya pasukan
Majapahit yang di jamu dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat
saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan
mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa pernyataan timbul bahwa alat
transportasi yang digunakan untuk menelusuri daratan tinggi Minangkabau adalah
kerbau.
Alasan menggunakan kerbau karena
agama yang dipercaya pada waktu itu diajarkan untuk menyayangi binatang gajah, kerbau,
dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau sebagai sebagai
icon festival adat adu kerbau. Bukti dari para arkeolog mengatakan bahwa daerah
kawasan Minangkabau yaitu Lima Puluh Kota (Limo Puluah Koto) merupakan daerah
yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang (urang) Minang. Didaerah tersebut
mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu. Nenek
moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian
diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima Puluh Kota
tersebut.
Terbukannya Provinsi Sumatera Barat
terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh
bercampurnya para pendatang dari luar Sumatera Barat. Jumlah pertumbuhan
penduduk yang semakin bertambah menyebabkan penyebaran penduduk ke berbagai
lokasi di Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan ke bagian barat
Sumatera.
Jatuhnya kerajaan Pagaruyung dan
terlibatnya negara belanda di perang Padri, menjadikan daerah pedalaman
MinangKabau menjadi dari Pax Nederlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian
daerah Minangkabau dibagi menjadi Residentie Padangsche Bovelenden serta Benedenlanden. Pada zaman VOC,
Hoofdcomptoir van Sumatra’s westkust merupakan sebutan untuk wilayah Pesisir
Barat Sumatera. Hingga abad ke-18, Provinsi Sumatera Barat semakin terkena
pengaruh politik dan ekonomi akhirnya kawasan ini mencakup daerah pantai barat
Sumatera. Kemudian mengikuti perkembangan administratif pemerintah Belanda, kawasan ini masuk dalam pemerintahan Sumatra’s
Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan Singkil dan Tapanuli.
Memasuki tahun 1914, pemerintah
Sumatra’s Westkust statusnya diturunkan menjadi Residen Sumatra’s Westkust. Kemudian
wilayah Mentawai di tambahkan di Samudera Hindia menjadi bagian dari Residen
Sumatera. 21 tahun berikutnya tepatnya 1935 kawasan Kerinci dimasukan juga ke
bagian Residen Sumatera. Setelah perpecahan pemerintah sumatra’s Ootkust, kedua
wilayah yaitu Kuantan Singingi dan Rokan Hulu dimasukan ke Residen Riouw, dan
dengan waktu yang hampir sama dibentuk Residen Djambi (jambi).
Pada masa selanjutnya di era
pendudukan Jepang (Nippon) di Sumatera Barat, Residen Sumatera’s Westkust
berganti nama dengan bahasa jepang menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Karena alasan
strategi militer, wilayah Kampar akhirnya dikeluarkan dari Residen Sumatera’s Westkust
atau Sumatora Nishi Kaigan Shu kemudian digabung kewilayah Rhio Shu. Sampai awal
kemerdekaan negara Indonesia pada tahun 1945, Sumatera Barat digabungkan
kedalam Provinsi Sumatera yang berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Provinsi
Sumatera mengalami perpecahan menjadi tiga (3) kawasan yakni Provinsi Sumatera
Utara, Sumatera selatan, dan Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat, Jambi,
Riau.
2.1.Pemetaan Wilayah, Suku dan
Bahasa Sumatera Barat
Penduduk Sumatera Barat dihuni oleh
banyak mayoritas suku MinangKabau. Selain suku Minang, di wilayah Pasaman di
huni oleh suku Mandailing dan suku Batak. Awal munculnya penduduk suku tersebut
pada abad ke-18 masa Perang Paderi. Daerah Padang Gelugur, Lunang Silaut, dan
Sitiung yang merupakan daerah transmigrasi terdapat juga beberapa suku Jawa. Sebagian
di daerah tersebut terdapat penduduk imigran keturunan Suriname yang kembali
memilih pulang ke indonesia pada akhir 1950-an. Para imigran tersebut di
tempatkan di daerah Sitiung.
Mayoritas penduduk suku Mentawai
juga berdomisili di kepualuan Mentawai dan sangat jarang ditemui penduduk suku
Minangkabau. Beberapa suku lainnya seperti etnis Tionghoa memilih menetap di
kota-kota besar seperti kota Bukittinggi, kota Padang, dan Payukumbuh. Suku
dari Nias dan Tamil sendiri berada di daerah Pariaman dan Padang, walaupun
dalam jumlah yang sedikit.
Di masa PRRI, provinsi Sumatera
Tengah mengalami perpecahan yang disebabkan adanya peraturan perundangan nomor
19 tahun 1957. Sumatera Tengah dijadikan 3 provinsi yaitu Riau, jambi, dan
Sumatera Barat. Kerinci yang sebelumnya masuk dalam bagian kabupaten sendiri. Untuk
wilayah Rokan Hulu, Kampar, dan Kuantan Singingi digabungkan ke wilayah Riau.
Bahasa Minangkabau termasuk salah
satu anak cabang rumpun bahasa Autronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat
mengenai hubungan bahasa minang dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa
yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena
banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan didalamnya, sementara yang lain
justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbedan dengan
melayu serta ada juga yang menyebutkan bahasa Minang merupakan bahasa ras Proto
Melayu.
Selain itu dalam masyarakat penutur
bahasa minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung
kepada daerahnya masing-masing. Pengaruh bahasa luar yang diserap ke dalam bahasa
Minang pada umumnya dari Sansekerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata
Sansekerta dan Tamil yang banyak dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau
telah ditulis menggunakan bermacam aksara diantaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi.
Menguatnya Islam yang diterima secara meluas juga mendorong masyarakatnya
menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri,
orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian Bahasa Indonesia
secara meluas. Didalam Tambo Minangkabau ditulis, dalam bahasa Melayu dan
merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau
menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.
Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh
Bahasa Arab, telah digunakan untuk pengajaran agama Islam.
Bahasa yang kini dipakai di Sumatera
Barat umumnya digunakan bagi penduduk Sumatera Barat adalah bahasa Minangkabau.
Bahasa tersebut dipakai dalam percakapan sehari-hari yang memiliki dialek
seperti, dialek Pariaman, dialek Payukumbuh, dialek Pesisir Selatan, dan dialek
Bukittingi. Sementara itu bahasa di Kepulauan Mentawai mayoritas menggunakan
bahasa asli suku Mentawai, dan bahasa batak yang berdialek mandailing digunakan
di wilayah Pasaman Barat dan Pasaman perbatasan Sumatera Utara. Bedasarkan keputusan
Gubernur Sumatera Barat pada tahun 1958, ibu kota Sumatera Barat yang dulunya
di Bukittingi kemudian dipindahkan ke daerah Padang yang sekarang menjadi kota
Padang.
2.2.Sejarah Asal Nenek Moyang
Penduduk MinangKabau
Menurut
sebagian para sejarawan, dan kebudayaan minang diperkirakan bermula sekitar 500SM,
ketika rumpun bangsa melayu mudan masuk ke Ranah Minang Membawa kebudayaan
Perunggu. Pembauran bangsa Melayu tua dan Melayu muda menurunkan leluhur suku
Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan megalitikum. Adapun peninggalan
zaman pra-sejarah berupa situs-situs Menhir hanya bisa ditemukan di Kabupaten
Limapuluh kota (kecamatan Suliki dan Guguk).
Situs-situs Megalith tersebut
tersebar di daerah Koto Tinggi, Balubus, Sungai Talang, Koto Gadang, Ateh Sudu
dan Talang Anau. Didesa Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs
Megalith terbanyak yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m. Di
MinangKabau istilah yang dipakai untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini biasa dipergunakan oleh masyarakat
Minangkabau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri.
Menhir merupakan bagian dari produk
tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material
kebudayaannya; mega berarti besar dan
lithos berarti batu. Sejarah pendirian
menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500 tahun silam. Awal kemunculannya
hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan
seperti dolmen, teras berundak (bertingkat) dan lain-lain.
Didaerah darek, daerah inti kebudayaan Minangkabau, menhir ditemukan paling
banyak di kabupaten Limapuluh Kota, kemudian disusul dengan kabupaten tanah
datar. Di kabupaten Tanah Datar dijumpai ribuan menhir bersamaan dengan
temuan-temuan lain seperti batu dakon dan lumpang batu. Menhir-menhir tersebut
muncul dalam bentuk yang beragam, ada yang berbentuk tanduk, pedang, phallus
dan beberapa bentuk kepala binatang.
Di kabupaten Tanah datar juga
terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur
Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan demikian
dapat dipastikan menhir-menhir di Tanah Datar umurnya jauh lebih muda jika
dibandingkan dengan menhir-menhir di kabupaten Limapuluh Kota.
2.3.Suku Melayu Purba dan Tradisi
Megalitik
Pada
ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situ megalitik Ronah, Bawah Parit,
Belubus berhasil ditemukan kerangka manusia dari penggalian menhir di lokasi
tersebut. Dibawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi
menghadap barat laut-tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur
laut-barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara-selatan (Boedhisampurno
1991).
Jenis kerangka manusia tersebut
dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedhisampurno 1991: 41), lalu yang
mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu
(Aziz 1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern,
seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan asia
ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang Pertama
mulai pada masa neolitikum yang
membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000SM, oleh para ahli digolongkan
sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu),
sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa
kebudayaan Dongson yang dimulai 500SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda
(Deutro Melayu), Soekmono mengatakan
bahwa pada zaman logam ini, disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan
megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai
cabang Kebudayaan Dongson (Soekmono
1973).
Dongson adalah nama tempat di
selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di asia tenggara. Konon
kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria. Tampaknya
kebudayaan Dongson ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di
Indo-China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu.
Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo-China terus
mengarungi Lautan China selatan, menyebrangi selat malaka dan kemudian mengarungi
lewat Sungai Kampar, Siak dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan
kebudayaan serta peradaban mereka disekitar kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Dengan ditemukannya kerangka manusia
telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang
berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera Barat. Oleh sebab itu
barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau yang berasal dari
daratan asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah
dapat dikembangkan ke dalam Melayu Muda (Deutro
Melayu).
Dalam
historiografis tradisional, seperti kaba (tradisi
lisan) dan tambo (yang dari kalangan
tertentu mempercayai 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak,
selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah
luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau
(Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai luhak Nan
Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih
tua dari Tanah Datar, paradigma tradisional itu kini dipertanyakan kembali
(Herwandi 2006).
Sementara menurut Bellwood (1985), penduduk
Sumatera adalah imigran dari taiwan dengan jalur dari taiwan ke filiphina,
melalui Luzon terus ke Kalimantan dan kemudian ke Sumatera. Kesimpulan ini
diambil Bellwood bedasarkan perbandingan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh
penduduk Sumatera, menurut Bellwood termasuk kelompok Western Melayo Polynesian
(WMP), yang merupakan keturunan dari Proto
Melayo Polynesian (PMP). PMP adalah keturunan dari Proto Austronesian (PAN)
yang diperkirakan digunakan oleh penduduk Taiwan pada sekitar tahun 3000SM.
Menurut kajian awal dan bukti
linguistis, disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di
kabupaten Limapuluh Kota. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama
yang didiami oleh orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti
arkeologis. Demikian pembuktian cerita yang ada dalam tambo dan kaba bahwa
Tanah Datar merupakan daerah tertua di Minangkabau tidaklah masuk akal, hanya
sebuah mitos belaka. Logikanya, perluasan wilayah Minangkabau dari daratan
rendah ke daratan tinggi, melalui sungai, pantai, menuju kepegunungan.
3.1.Sistem Kekerabatan Matrilineal
orang
Minangkabau menarik garis keturunan menurut garis keturunan ibu (Matrilineal). Seseorang
yang lahir dalam suatu keluarga akan masuk dalam kelompok kerabat ibunya, bukan
kelompok dari kerabat ayahnya. Bagi seorang anak, kaum kerabat dari pihak
ayahnya disebut bako. Seorang ayah
berada diluar kelompok kerabat istri dan anak-anaknya. Menurut adat seorang
perempuan tidak meninggalkan rumah keluarganya setelah menikah. Sementara laki-laki
bila menikah tidak tinggal di rumah istrinya, melainkan tetap tinggal dalam
rumah keluarga istrinya. Pada masa lalu suami mengunjungi istrinya pada malam
hari saja dan ia diharapkan menggarap sawah milik istrinya. Pola menetap
sesudah menikah seperti diatas dalam ilmu antropologi lazim disebut duolokal.
Dalam sistem keturunan matrineal
ini, seorang ayah dipandang dan diberlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang
tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut sumando atau urang sumando .
tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya tempat dia berfungsi
sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis keturunan itu. Secara tradisi,
tanggung jawabnya setidak-tidaknya berada di situ. Dia adalah wali dari garis
keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia
harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya, oleh karena dia tidak
dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Dia tidak pula diberi tempat
dirumah orang tuanya (garis ibu) oleh karena semua bilik (kamar di rumah gadang) hanya di peruntukan bagi anggota yang
perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.
Dalam masyarakat Minangkabau,
hubungan antara anak dengan saudara-saudara ibunya dibedak antara hubungan
dengan saudara laki-laki ibu dan dengan saudara perempuan ibu. Hubungan dengan
saudara laki-laki ibu disebut hubungan kekerabatan mamak dengan kemenakan. Sedangkan
hubungan dengan saudara ibu yang perempuan dianggap sama dengan hubungan antara
anak dengan ibunya. Saudara laki-laki ibu disebut mamak yang dipanggil dengan
sebutan mak uwo (mamak yang paling
tua), mak angah (mamak yang
diposisinya ditengah-tengah), dan mak
etek (mamak yang paling kecil). Saudara perempuan ibu di panggil uwo (jika lebih tua dari ibu), angah
(jika berada di tengah-tengah), dan etek
(jika lebih muda dari ibu).
Tidak ada data dan dokumentasi yang
cukup tersedia mengenai latar belakang orang Minangkabau memilih dan bertahan
dengan budaya sistem kekerabatan Matrineal. Koentjaraningrat, mengatakan bahwa
sistem ini sekarang jarang sekali digunakan didunia ini. Dari hasil penelitian,
dokumentasi tentang 19 lingkungan masyarakat hukum adat yang digolongkan oleh
Van Vollenhoven atau pakar hukum adat lainnya seperti Ter Harr dan lain-lain,
termasuk juga bahan sejarah Minangkabau maupun Tambo adat Minangkabau sendiri,
tidak terdapat keterangan mengapa sistem ini diterapkan oleh masyarakat
Minangkabau.
Menurut Suwardi Idris, ada tiga
kemungkinan mengapa orang Minangkabau mengambil alur Matrineal. Pertama, dibawa dari kampung asal di India
Selatan (Hindia Belakang), atau mungkin juga dari Vietnam bagian timur. Kedua, direkayasa pada masa pemerintahan
raja Adityawarman, bahwa raja mereka adalah orang Minangkabau karena ibunya
adalah putri Melayu. Dengan rekayasa yang demikian, orang Minangkabau tidak
merasa diperintah oleh raja keturunan Majapahit, tetapi diperintah oleh raja
dari kalangan mereka sendiri. Ketiga, karena
Bundo Kanduang demikian sangat dihormati, tetapi ia dianggap tidak pernah
bersuami, sehingga tidak mungkin ditarik garis keturunan bapak (patrineal),
maka satu-satunya kemungkinan ialah menarik garis keturunan ibu.
3.2.Hubungan Suku Dalam Lingkungan
Suku
atau matrician, merupakan unit utama
dari struktur sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai
orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya eksogamis,
kecuali bila tidak dapat lagi ditelusuri hubungan keluarga antara dua buah suku
yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang dari
suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, suku bisa berarti genelogis
maupun teritorial, sedangkan kampung tanpa dikaitkan kedalam salah satu suku
tertentu hanyalah mengandung arti teritorial semata-mata.
Pada mulanya terdapat empat suku
pokok di Minangkabau, berpasang-pasangan menjadi dua kelarasan (moety): Suku
Koto dan Suku Piliang termasuk kelarasan Koto-Piliang, sedangkan Suku Bodi dan
Suku Caniago termasuk kelarasan Bodi-Caniago. Dewasa ini empat suku asal ini,
menurut L.C.Westenenk, telah bercabang-cabang menjadi kira-kira 96 suku yang berbeda-beda
yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau (Ibid). Unsur-unsur suku Koto-Piliang dan Bodi-Caniago kedua-duany
mungkin ditemukan dalam nagari yang sama sekalipun nagari itu biasanya ditandai
oleh suku yang lebih dominan. Oleh sebab itu orang dapat mengatakan, umpamanya,
bahwa nagari di Luhak Agam lebih banyak dikuasai
oleh suku Bodi-Caniago, nagari di Luhak Limapuluh Kota oleh Koto-Piliang, dan
Nagari di Luhak Tanah Datar oleh suku campuran.
Pengelompokan ke dalam Koto-Piliang
dan Bodi-Caniago tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini oleh
karena beda yang tinggal dari keduanya Cuma sedikit. Dari sudut sejarah,
bagaimanapun, keduanya menggambarkan dua buah sistem sosial menurut legenda
yang ternukil di dalam Tambo berasal dari dua orang bersaudara tiri yang
bersengketa. Keduanya dilahirkan dari satu ibu tapi lain ayah : Datuk Katumanggungan
dan Datuk Perpatih Nan Sabatang .
yang pertama berciri lebih aristokratis, sedang yang kedua lebih demokratis.
Suku dikepalai oleh seorang
penghulu. Tiap suku terdiri dari beberapa Paruik
dan dikepalai oleh kapalo paruik atau
tungganai. Paruik dapat dibagi lagi kedalam jurai dan jurai terbagi
lagi dalam samande (satu ibu). Cara pembagian
suku seperti demikian kedalam berbagai tingkat garis keturunan, berbeda dari
satu daerah dengan daerah lainnya. Jurai misalnya
adalah istilah yang kabur mungkin menunjukan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di
atas paruik. Samande , sebaliknya sukar dipandang sebagai unit yang berdiri
sendiri oleh karena dua atau tiga samande
bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta bersama, seperti
tanah bersama, termasuk ladang-sawah, rumah gadang, dan makam pekuburan bersama.
Oleh karena paruik berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam
suku yang satu. Dengan berkembangnya suku mungkin pula terbagi ke dalam dua
atau lebih suku baru yang bertali-talian. Dalam satu nagari, orang yang sesuku
tidak selalu terdiri dari orang-orang yang seketurunan. Hal ini dimungkinkan
oleh dua hal pokok : Pertama, karena tiap nagari merupakan satu wilayah adat
yang independent, yang tidak terikat dengan nagari ke nagari lain. Kedua,
adalah adanya pendatang baru dari luar Minangkabau yang menetap di salah satu nagari
yang ada di Minangkabau. Kedua hal ini mengakibatkan keragaman (heterogenitas)
dari penduduk dalam satu nagari yang tidak lagi terbatas pada ke-empat suku
asal, tetapi sudah diragami oleh pendatang baru yang harus dimasukan kedalam
struktur persukuan yang terdapat dalam nagari itu.
Semua pendatang baru ini disebut
kemenakan juga oleh orang yang menerimanya. Walaupun dengan hak yang berbeda
dengan kemenakan asli dari pesukuan asal itu. Dengan adanya pendatang baru ini,
hubungan yang ada dalam suku sebagai inti dari nagari menjadi sebagai berikut :
-
Hubungan tali darah, yaitu hubungan
antara mereka yang berasal dari satu keturunan menurut garis ibu.
-
Hubungan tali budi, yaitu hubungan yang
tercipta antara orang yang mempunyai suku yang sama dari satu nagari, yang
pindah ke lain nagari dan menetap secara malakok
(mengaku saudara) pada suku yang senama di nagari baru itu.
-
Hubungan tali emas, yaitu hubungan yang
tercipta antara pendatang baru yang berasal dari luar Minangkabau, yang
diterima dalam persukuan satu nagari di Minangkabau dengan membayar semacam
upeti (uang emas).
Minang
kabau merupakan suku bangsa terbesar di indonesia yang menganut sistem
kekerabatan matrineal atau garis ibu. Sistem kekerabatan matrineal merupakan
sistem kekerabatan paling tertua di dunia.
4.0.Kesimpulan
Didalam
adat Minangkabau sungguhlah kaya akan cerita sejarah nenek moyang, sejarah
keturunan, hingga sejarah mengenai kekerabatan dan sukunya. Dan ada banyak sekali
suku-suku keturunan Minangkabau tersebar di Provinsi sumatera barat, di daerah
seluruh Indonesia, bahkan di dunia. Sampai saat ini pun belum ada yang
mengatahui sejak kapan sejarahnya orang Minang sudah memulai kegiatan merantau hingga ke penjur dunia. Walau di
Era kerajaan Pagaruyung baru di legalkan budaya terbuka (demokratis) terhadap
dunia luar yang masuk ke Sumatera barat, tetapi budaya merantau itu sudah jauh dilakukan sebelum adanya kerajaan
pagaruyung berdiri. Begitu juga budaya kekerabatan matrineal Minangkabau yang
sampai saat ini juga belum diketahui, sejak kapan orang Minangkabau sudah
mengadopsi budaya Matrineal yang sampai saat ini masih di pakai oleh seluruh
keturunan Minangkabau.
Pada masyarakat Minangkabau sendiri,
meskipun banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur budaya luar, termasuk agama
Islam yang Patrineal yang sekarang dipeluk oleh hampir semua orang Minangn
ternyata sistem kekerabatan matrineal masih tetap bertahan. Walaupun akhir-akhir
ini seorang ayah di Minangkabau sudah mulai lebih banyak mengurusi anak-anak,
dan istrinya, daripada saudara-saudara perempuan dan kemenekannya. Karena pada
dasarnya seorang anak akan tetap lebih dekat dengan ibu dan kerabat ibunya
daripada dengan ayah dan saudara-saudara ayahnya.
5.1.Daftar Pustaka
-
Amir M.S., Adat Minangkabau Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1997.
-
Fiony sukmasari, Perkawinan Adat Minangkabau. Payakumbuh: Percetakan Lembaga, 1954
-
Herwandi, Limopuluah Koto Luhak Nan Tuo: Menhir, Jejak
Budaya Minangkabau Membalik Paradigma Tradisional, 2006
-
Nadra, Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang
Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999
-
Sejarah Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara,
1970
Sumber Internet :
-
sejarahtukmasadepan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar