1.1.Pendahuluan
Minangkabau
tidak hanya unik dengan garis keturunannya atau sistem pemerintahan nagarinya,
tetapi juga unik dalam sistem kepemimpinannya. Ketika membahas soal teori dan
tata cara kepemimpinan di tanah kerajaan Pagaruyung ini, maka tidak akan pernah
bisa terlepas dari konsep Tigo Tungku
Sajarangan (tiga tungku bersebrangan). Yang terdiri dari unsur sebagai
berikut; 1. Kepemimpinan Niniak Mamak, 2. Kepemimpinan Alim Ulama, dan ke-3.
Kepemimpinan Cerdik Pandai (kaum intelektual muda). Ketiga bentuk kepemimpinan
ini lahir dan ada, tidak lepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau
sendiri.
Ketiga
corak Kepemimpinan tersebut mempunyai perbedaan masing-masing, terutama sekali
statusnya dalam masyarakat adat. Kepemimpinan Niniak Mamak merupakan
kepemimpinan tradisional, sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh garis
adat. Kepemimpinan yang secara saling berkesinambungan, dalam arti kata “patah
tumbuah silih baganti (patah tumbuh silih bergantian)”dalam kaum masing-masing,
suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai ninik mamak dalam
masyarakat adat, seandainya dalam kaum keluarga sendiri tidak mempunyai gelar
kebesaran kaum yang diwarisinya. Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai
tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu, dan malahan peranannya jauh
di luar masyarakat nagarinya. Ketiga sistem Kepemimpinan tadi didalam
masyarakat Minangkabau disebut “tungku nan tigo sajarangan, tali nan tigo
sapilin”. Mereka saling melengkapi dan keterkaitan untuk menguatkan
satu sama lain. Tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin juga merupakan
filosofi dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Keberadaan tiga pemimpin
informal tersebut terlembaga didalam idiom adat: tungku an tigo sajarangan (tungku yang tiga sejerangan), tali nan tigo sapilin (tali yang tiga
seikatan), nan tinggi tampak jauah (yang
tinggi nampak jauh), tabarumbun tampak
hampia (tersembunyi hampir tampak).
Makna
dasar dari idiom tersebut adalah pada kesatuan yang terdapat didalam pada
sebuah sistem Kepemimpinan yang kokoh, yang terdiri dari unsur-unsur
Kepemimpinan yang diatur oleh Undang-undang. Untuk stratifikasi secara tegas
terhadap tiga corak Kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang.
Betapa banyaknya sekarang ninik mamak (kepala nagari) yang cerdik pandai juga
serta sebagai alim ulama yang menyelesaikan persoalan yang terjadi didalam
nagari. Berbagai unsur dalam masyarakat harus bisa melihatnya secara
menyeluruh. “jarangan” pada dasarnya berdiri senidir, tidak bercampur aduk dan
mempunyai wilayah atau bidang kekuasaan masing-masing, namun ketiganya saling
keterkaitan (Gani,2002:101). Maka tungku itu adalah tempat berdaya upaya dalam
memperkatakan, memusyawarahkan, dan memufakati apa yang patut diberikan ke
masyarakat untuk dijadikan “makanan jasmani dan rohani”.
Istilah
tigo tungku sajarangan sangat dekat dengan masyarkat Minangkabau. Karena
istilah ini dipakai dalam kegiatan memasak. Secara tradisional, peralatan
memasak yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau memakai tungku yang biasanya
terbuat dari besi atau batu. Tiga buah batu atau besi yang dibentuk menyerupai
segitiga sama sisi, merupakan dasar yang kokoh untuk menopang berbagai macam
masakan yang di masak di atasnya. Deskripsi ini diperkuat dalam pantun adat
yang berbunyi :
Basiliang
kayu dalam tungku (Bersilangan
kayu didalam tungku)
Di situ api mangko hiduik (di sana api akan hidup)
Di situ api mangko hiduik (di sana api akan hidup)
Artinya
melalui ketiga pintu ini maka nyala api dari kayu bakar yang disilingkan dalam
tungku tersebut akan menjadi bagus. Makna falsafah adat diatas juga
menggambarkan kondisi masyarakat Minangkabau yang demokrasi. Kayu-kayu bakar
yang saling menyilang di dalam tungku merupakan gambaran atas
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat Minangkabau.
Perbedaan-perbedaan ini di musyawarahkan bersama-sama sehingga akhirnya
menghasilkan sebuah keputusan. Tungku yang diumpamakan sebagai tiga unsur
pimpinan diatas, sedangkan kayu merupakan
gagasan, pendapat, dan nyala api itu adalah sebagai media diskusi, dan
periuk yang isinya telah dimasak merupakan hasil keputusan dari mufakat
(Suarman,2000:156).
2.1.Kepemimpinan
Ninik Mamak (Kepala Adat)
Ninik mamak atau
yang mungkin lebih dikenal dengan nama penghulu atau pemimpin adat (fungsional
adat) di nagari Minangkabau. Jabatan Ninik Mamak adalah sebagai pemegang sako
datuk (Datuak) secara turun temurun menurut garis keturunan ibu (Matrineal).
Sebagai pemimpin adat maka ia memelihara, menjaga, mengawasi, mengurusi, dan
menjalankan seluk beluk adat dan kejadian sengketa adat di dalam nagari. Dia
adalah pemimpin dan pelindung kaumnya atau anak kemenakannya menurut sepanjang
adat (Arief,2000). Keberadaan Ninik Mamak di tengah-tengah masyarakat lebih
jauh terlihat dalam idiom “bak
baringin di tangah koto, Ureknyo tampek baselo, Batangnyo tampek basanda.
Dahannyo tumpek bagantuang, daunnyo tampek bataduah kahujanan tampek
barlindungan kapanehan, nan didahulukan sulungkuh nan ditinggikan sarantiang,
ka pai tampek batanyo kapulang tampek barito” (Artinya :
Seperti pohon beringin di tengah kota, akarnya tempat berduduk sila, batangnya
tempat badan bersandar, dahannya tempat bergantung-gantung, daunnya tempat
berteduh dari hujan dan panas yang didahulukan selangkah yang ditinggikan
seranting, kalau pergi tempat bertanya kalau pulang sebagai tempat berita).
Maksudnya
Ninik mamak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding jabatan lainnya
yang ada dalam masyarakat, merupakan tempat sandaran dan tempat bertanya
tentang berbagai permasalahan yang dihadapi warga dalam suatu nagari (desa).
Tugas pokok dari seorang Ninik Mamak di Minangkabau adalah untuk memelihara
(memimpin) anak kemenakannya sesuai dengan pepatah “kalua paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggangkan, baok
manurun ka saraso, tanamlah daun siriah jo ureknyo, anak di pangku, kemenakan
di bimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, tenggang raso jo adaeknyo,
tenggang nagari jan binaso” (bengkok paku kacang belimbing, tempurung
lenggang-lenggangkan, bawa menurun ke saruaso, tanamlah daun sirih beserta
akarnya, anak kandung dipangku, anak kemenakan dibimbing, orang kampung
dipertenggangkan, tenggang serasa adatnya, tenggang negeri jangan pernah
binasah).
Maksudnya,
seorang Ninik mamak (pemimpin adat) mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap
anak dan kemenakan. Terhadap “anaknya sendiri dia pangku, kemenakan ia bimbing”
dan selanjutnya arif pula terhadap semua orang di kampungnya yang harus saling
bertenggang atau diperhatikan pila dengan penerapan adat istiadat yang berlaku
sifat yang harus dimiliki oleh Ninik Mamak adalah Siddiq (benar), seorang
penghulu atau ketua adat yang diangkat oleh masyarakat anak kemenakan harus
bersifat benar, tidak bersifat dusta karena kepadanya diserahkan segala
persoalan anak kemenakan baik mental maupun spritual dan mengurus masyarakat
kaumnya. Tabligh (menyampaikan), menjadikan tugas Ninik mamak untuk
menyampaikan kepada anak kemenakan yang dipimpinnya tentang suruhan dan
larangan yang harus diketahui dan diamalkan oleh anak kemenakannya. Amanah
(Kepercayaan), dipercayai secara lahir dan batin, seseorang Ninik mamak
hendaklah bersifat jujur, lurus, benar, tidak penipu, dan tidak bermulut lain
di hati, karena hal itu dapat merugikan masyarakat anak kemenakan dan kaumnya. Fathonah
(berilmu dan cerdas), seorang Ninik Mamak tidak boleh bodoh atau dungu.
Kecerdasan dapat dimiliki seseorang dengan menuntut ilmu penggetahuan baik itu
ilmu agama, ilmu tentang adat istiadat, maupun ilmu pengetahuan umum dan
akademis lainnya. Ilmu yang dimiliki tersebut dapat dipergunakan untuk memimpin
masyarakat, anak kemenakan kearah untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin.
Kepemimpinan
Ninik Mamak itu di samping arif dan bijaksana, Ninik mamak juga harus pintar
dalam memilah-memilah dan menganalisa di antara sekian banyak kasus yang
terjadi dikalangan anak kemenakan atau masyarakatnya. Ia harus selalu mengambil
keputusan yang baik dan bijak, serta masuk akal, dengan ukuran-ukuran (norma)
yang umum.
Beberapa
tugas penting dari seorang Ninik Mamak (ketua adat) didalam pemerintahan nagari
:
1. Bagaimana
cara melakukan resposisi “adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah” untuk dalam hal ini untuk
diberlakukannya mamaga suku (menjaga
suku), tagak nagari mamaga nagari (membangun
negeri dan menjaganya), managak bangso
dan mamagakannyo (membangun bangsa yang berdaulat dan menjaga kedaulatannya).
Tentunya pemimpin adat harus menguasai banyak mengenai seluk beluk adat
istiadat, taat agama, dan berilmu pengetahuan yang luas. Harus memiliki
ciri-ciri berakhlak islami, pemikiran demokratis, bertanggung jawab penuh, dan
mempunyai wawasan luas (berilmu pengetahuan), tentunya hal ini harus
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
2. Pewarisan
adat Minangkabau kepada generasi muda. Generasi muda adalah anak kemenakan,
baik laki-laki maupun perempuan. Pewaris ini sebenarnya telah di gariskan
dahulu secara garis turun temurun dari Niniak Mamak ke Mamak, dari Mamak turun ke kemenakan.
Tetapi harus diakui bahwa pelaksanaanya sangat kurang.
3. Kualitas
sumber daya manusia pemimpin adat harus diakui bahwa 80% pemimpin adat
berpendidikan rendah sampai sangat terendah. Mereka yang berpendidikan tinggi
lebih banyak tinggal di luar nagarinya (merantau). Hal ini merupakan kendala
sekaligus tantangan bagi pemimpin adat untuk mendapatkan peran didalam nagari
yang dipimpinnya.
4. Harus
mampu berpolitik untuk memperoleh kewenangan politis, Ninik Mamak harus mampu
berinteraksi dengan komponen lainnya, yaitu Alim Ulama, dan Cerdik Pandai (Kaum
Intelektual Muda). Karena dalam memimpin nagari Ninik Mamak harus memahami
seluk beluk nagari yang dipimpinnya.
5. Mampu
pemanfaatna sumber daya fisik sebaik-baiknya untuk kemajuan ekonomi
masyarakatnya, suku, dan nagari. Pemanfaatan sumber daya fisik berupa harta
benda masyarakat dalam nagari seperti bersawah, berladang, ataupun berternak.
3.1.Kepemimpinan
Alim Ulama (Tokoh Agama)
Kekuatan filosofi
“adaek
basandi syarak, syarak basandi kitabullah” merupakan dasar bagi
kehidupan masyarakat Minangkabau. Yang merupakan menjadi buah penghayatan yang
dalam, diharapkan tercermin dalam bentuk perilaku yang luhur (ahlak yang mulia)
dan tidak hanya sebatas kebanggaan asshabiyah
(kebanggaan sukuisme) Minangkabau semata. Nilai-nilai budaya inilah yang
menurut Buya Hamka menjadi sebuah pegangan hidup yang positif, mendorong dan
merangsang masyarakat Minangkabau untuk terus berprestasi (free of motivation),
dan menjadi penggerak yang mendinamiskan satu kegiatan masyarakat bernagari.
Sikap
jiwa yang terlahir dari pemahaman syarak dalam budaya Minangkabau, menjadi
kekuatan besar dari kekayaan budaya masyarakat yang tidak ternilai harganya.
Bedasarkan filosofi, maka keberadaan alim ulama di Minangkabau tidak bisa
dipandang sebelah mata, tetapi menjadi bagian penting dalam tatanan kehidupan
di masyarakat, mengingat kuatnya tradisi keagamaan yang mengikat kehidupan
bermasyarakat alim ulama lebih banyak berfungsi sebagai pembina iman dan ahlak
anak nagari. Ulama bukan hanya punya seorang kaum atau suku saja, tetapi adalah
milik semua masyarakat didalam nagari. Sifat pelayanannya adalah kenagarian. konsep
Kepemimpinan alim ulama seperti yang terjabar didalam pepatah “Suluah bendang dalam nagari, palito nan tak
namuah padam, duduaknyo bacamin kitab, tagak nan rintang jo pituah” Artinya,
sebagai suluh penerang dalam negeri, pelita yang tak kunjung padam, duduknya
bercermin kitab suci, tegaknya sibuk memberi petuah.
Maksudnya
alim ulama bertindak sebagai obor (suluh) yang menerangi dari kegelapan. Ia
harus tahu akan halal dan juga haram, tahu akan yang hak dan juga yang bathil,
dan tahu akan syariat dan hakikat, serta mampu menjadi penenang bagi setiap
kerusuhan yang terdapat di masyarakat dalam nagari. Dalam sistem pemerintahan
nagari, ulaman perlu diberikan posisi tawar menawar yang kuat, terutama sekali
dalam mengontrol ahklak penyelenggara pemerintahan nagari.
4.1.
Kepemimpinan Cerdik Pandai (Intelektual Muda)
Pendidikan
bagi masyarakat di Minangkabau merupakan sesuatu yang sangat penting. Ungkapan
“kok nak mambantuak batuang iyolah dari
rabuang” (jika hendak membentuk bambu mulailah dari rebung) merupakan salah
satu wujud dari pentingnya pendidikan bagi masyarakat Minangkabau. Ungkapan
tersebut memiliki arti yang sangat subtansial. Bagi masyarakat Minangkabau
sendiri, pendidikan harus sudah dimulai dari usia dini, yang dalam hal ini di
kiaskan dengan rebung. Pembentukan watak manusia harus dimulai dari kecil, sejak
manusia belum memiliki karakter yang sesungguhnya, bila telah dewasa (menjadi
bambu) sangatlah membentuk watak manusia. Hal ini dikaitkan dengan ungkapan “ketek taaja-aja, gadang tabaok-baok, tuo tak
lupo indak” (kecil terajar-ajar,
besar terbawa-bawa, tua tidak pernah lupa).
Secara
formal dalam sistem Kepemimpinan di Sumatera Barat dipegang oleh kalangan
cerdik pandai sebagai kalangan yang berilmu pengetahuan dalam arti luas. Dalam
kenyataannya, sehari-hari cerdik pandai adalah orang yang menguasai ilmu, baik
ilmu adat, ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan. Sebagai kalangan yang berilmu,
dalam sistem Kepemimpinan tungku tigo sajarangan , (Amir,2001:182)
mendefinisikan cerdik (Cadiak) dalam pengertian orang
minang adalah kemampuan menggunakan akal dalam mengatasi keadaan yang rumit.
Hal ini erat hubunganya dengan akal pikiran atau kecerdasan otak. Menurut
Hakimy (1997:187) cerdik adalah pengetahuan tentang seluk beluk hidup dan
kehidupan dalam masyarakat demi tercapainya tujuan yang sempurna secara lahir
dan batin.
Sedangkan
pandai berhubungan erat dengan keahlian profresional atau ketrampilan
seseorang. Oleh karena itu, orang cerdik belum tentu pandai, sebaliknya orang
pandai belum tentu cerdik. Jadi orang cerdik pandai adalah orang cerda yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah rumit, mempunyai ketrampilan profesional
untuk menunjang kehidupan ekonominya. Cerdik pandai mempunyai tugas dalam
membuat undang-undang atau membuat peraturan (hukum). Sebagai orang yang belum
berilmu dan dipandang arif dan bijak sana.
“Tahu dek rantiang nan ka mancucuak, tahu
didahan ka maimpok” (tahu dengan
ranting yang menembus, tahu dengan dahan yang akan menimpa). Artinya dalam
proses kepemimpinannya, cerdik pandai harus bisa mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi dan mencari pemecahan masalah dari berbagai
persoalan yang timbul di masyarakat. Sebagai pemimpin dalam struktur
pemerintahan di Sumatera Barat, kalangan Cerdik pandai harus bisa menjadi jembatan bagi masyarakatnya
dengan dunia luar. Jalinan komunikasi yang efektif dengan lingkungan yang
berasal dari luar daerahnya ikut menentukan kemajuan daerah yang dipimpinnya.
5.1.Kepemimpinan Tigo Tungku Sajarangan
Konsep Kepemimpinan
tripartit Tigo Tungku Sajarangan, Tali
Nan Tigo Sapilin seperti yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau selama
ini berkait langsung dan serasi dengan sistem kemasyarakatannya yang egaliter
dan demokratis, karena mengenal pembagian kerja dengan tugas yang dibagi secara
fungsional. Karena sifatnya yang egaliter dan demokratis itu maka pengambilan
keputusan tidaklah dilakukan oleh orang-perorang seperti yang berlaku dalam
sistem kemasyarakatannya yang bersifat feodal, ataupun diktatorial-totaliter. Pada
mulanya, proses Kepemimpinan yang terbentuk hanya bekanaan dengan bidang dan
permasalahan adat saja. Kemudian dengan masuknya agama Islam kedalam masyarakat
Minangkabau, timbulah unsur pemimpin agama dan faktor agama pun turut
menentukan kehidupan masyarakat. Karena itu disamping kepemimpinan Nini Mamak
sebagai pemangku adat, diikut sertakan juga Alim Ulama, yang secara
bersama-sama memimpin satu-kesatuan sosial masyarakat dalam adat.
Lebih
jauh kemajuan-kemajuan yang dicapai melalui sistem pendidikan dan perekonomian
menimbulkan pula unsur pimpinan baru yang dinamai Cerdik Pandai. Pendapat dan
perkataanya juga menentukan dalam masyarakat, dan karena itu para Cerdik pandai
diikut sertakan pula dalam Kepemimpinan tungku tigo sajarangan. Dari rangkaian
proses tersebut, terlihat bahwa adat selalu membuka diri terhadap hal-hal baru
yang dirasakan turut menentukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut adat, jika ada
masalah baru maka ini memerlukan pemecahannya, artinya haruslah hal itu
diperkatakan, lalu dibawa kedalam musyawarah untuk mengambil kata mufakat
tentang bagaimana sepatutnya hal itu didudukan dalam kehidupan adat. Yang memperkatakan,
yang musyawarahkannya ialah tungku tigo sejarangan tadi.
Dapat
dikatakan hakikatnya Kepemimpinan tungku tigo sajarangan selalu dapat menampung
hal-hal yang paling modern dan up to date
yang sah dan mutakhir sekalipun,
jika hal tersebut berfaedah dalam kehidupan masyarakat, ketentuan itu
dibenarkan oleh ungkapan adat “cupak
usalli, cupak buatan, kata dahulu ditepati, kata kudian kata dicari”
(perhitungan asli, perhitungan buatan, kata pertama ditepati, kata sesudahnya
dicari). Artinya jika ada hal baru, maka melalui musyawarah perlu diperkatakan,
ditimbang baik buruknya, harkat dan iradatnya, dilihat dari prakteknya dalam
kehidupan sehingga hasilnya dapat dicari hukum dan ketentuannya. Kata hukum,
dan lembaga yang dihasilkan musyawarah inilah yang menjadi cupak, yakni ukuran
baik buruk yang harus dipakai dalam adat.
Melalui
musyawarah yang melahirkan kata sepakat dan cara hidup seiya sekata, maka
manusia sebagai anggota masyarakat adat dikaji sifat dan kehendaknya serta
kedudukannya, dan cupaknya disebut baik jika tidak bertentangan dengan
kodratnya sebagai manusia.
Kepemimpinan
dalam tungku tigo sajarangan pada dasarnya berdiri sendiri, tidak bercampur
aduk dan mempunyai wilayah atau bidang kekuasaan masing-masing, namun ketiganya
saling berkaitan dan mempunyai peran penting dalam roda Kepemimpinan di
Sumatera Barat. Adat Minangkabau menghendaki agar seseorang menjadi sempurna
kehidupannya, maka ia haruslah beradat (cadiak), beragama (tahu akan Allah),
dan berpengetahuan (Pandai). Jadi seorang pemimpin idealnya memiliki ketiga
karakter dari tiga unsur ini, sebagai pemimpin di adat, di pemerintahan dan di
keagamaan. Sebab apa yang dicarikan dan dihasilkan, adalah untuk keperluan diri
dalam kelompok anak kemenakan, kelompok yang dipimpin dan pimpinan secara patut
dan adil.
6.1.Kesimpulan
Interaksi yang
terbentuk di antara kelembagaan “Tungku Tigo Sajarangan” meliputi berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh anak nagari, setiap unsur mempunyai tugas pokok
yang berdiri sendiri, tidak bias dicampuradukan, tetapi diantara ketiganya
tetap saling berkaitan. Proses komunikasi yang terbentuk berupa komunikasi
kelompok. Masing-masing unsur mempunyai pengikut yang akan mendukung setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinannya. Ninik Mamak atau yang lebih
dikenal penghulu adalah pemimpin adat di Minangkabau. Jabatan Ninik mamak lah
sebagai pemegang sako datuak secara turun temurun menurut garis keturunan ibu
dalam sistem matrineal. Sebagai pemimpin adat, maka ia memelihara, menjaga,
mengawasi, mengurusi dan menjalankan seluk beluk permasalahan adat. Alim ulama
bertindak sebagai obor penerang jalan hidup masyarakat didalam nagarinya,
sebagai pemeberi arahan mengenai Halal dan Haram, tahu akan hak dan kewajiban,
tahu akan syarikat dan hakikat, serta menjadi penenang bagi setiap kerusuhan
yang terdapat di masyarakat. Sementara kalangan Cerdik Pandai adalah kalangan
pemuda yang berilmu maupun yang sedang menuntut ilmu, yang bertugas sebagai
dalam pembuat peraturan Undang-undang atau hukum. Sebagai kalangan yang
dipandang arif, bijaksana, harus bisa mengatasi berbagai kemungkinan yang akan
terjadi dan mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah dari berbagai
persoalan yang dihadapi anak nagari.
Kebersatuan
ketiganya akan menyelesaikan persoalan anak nagari, masakkan apapun yang ada di
jerangannya.
7.1.Daftar
Pustaka
Amir MS,2001,Adat M in an g k ab au : P o la dan Tu ju an H i du p O r an g
M in an g. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Chandra, Ade
dkk, 2000, Minangkabau Dalam Perubahan, Padang,
Yasmin Akbar
Gani, Erizal, 2010, Pantun Minangkabau dalam Perspektif Budaya dan Pendidikan, Padang, UNP Press
Gani Rita,
2002, Tungku Tigo Sajarangan: Analisis Model Komunikasi Kelompok dalam
Interaksi Pemimpin pemerintahan di Sumatera Barat (tesis), Bandung
Hakimy,
Idrus Dt Rajo Penghulu,1997. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau . Bandung:
Penerbit Remaja Rosda Karya.
----------. 2001.
Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Penerbit Remadja
Karya.
Sihombing,
Herman, 1980, Tiga Tungku Sejerangan dan Tiga Tali Sepilin Hukum Adat
Minangkabau Dewasa Ini dan Kemudian Hari, (makalah) Padang, Universitas Andalas
Suarman,
Dkk. 2000. Adat Minangkabau nan Salingka Hiduik.Padang: Duta Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar