1. Latar Belakang
Peristiwa
heroik ini telah berlalu 89 tahun yang silam. Suatu masa panjang yang tidak memungkinkan kita bisa mengingatnya dengan sepenuh kejelasan. Hampir semua pelakunya telah berpulang ke hadirat Illahi dan begitu pula
saksi-saksi mata utamanya. Yang kini tersisa hanyalah orang-orang tua yang pada
saat peristiwa itu meletus masih sangat belia dan tidak terlibat langsung serta
melihatnya secara menyeluruh. Catatan-catatan tertulis yang bisa dijadikan
bukti otentik tentang persiapan jalannya, akibat dari peperangan itu boleh
dikatakan tidak ada sama sekali.
Satu-satunya yang lengkap mengenai
peristiwa ini adalah Keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan
dan mengangkat sebagian dari pejuang-pejuang itu sebagai pahlawan Pejuang
Perintis Kemerdekaan. Didirikan pula sebuah monumen yang diberi nama Tugu
Perintis Kemerdekaan yang diresmikan tahun 1947 oleh Wakil Presiden pada waktu
itu Drs. Moh. Hatta sebagai tanda bahwa di wilayah Silungkang dan sekitarnya
pernah terjadi perjuangan heroik. Perjuangan
heroik ini diakui oleh negara sebagai salah satu mata rantai perjuangan rakyat
Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.
Karenanya cerita tentang PRS 1927 kita
miliki sekarang ini hanyalah berupa sisa-sisa cerita dari mulut ke mulut yang
disampaikan oleh para pelaku dan saksi-saksi mata kepada anak cucunya. Cerita-cerita ini selama ini sudah dianggap sebagai sumber paling competen
mengenai PRS 1927 ini. Tak pernah dicoba menelaah cerita-cerita itu,
membandingkan kebenarannya. Hingga bisa ditarik sebuah kesimpulan yang benar
dan tepat serta seragam tentang :
Siapa yang menggerakkan perang ini. . . ?
Apa sebab-sebab terjadi peperangan
ini . . ?
Apa tujuan yang akan dicapai dengan
perang ini . . ?
1.1 Terlupakan, Melupakan, atau
Benar-Benar Lupa
1.1.1
Terlupa
Wajar kalau
terlupa, apalagi peristiwa ini telah lama berlalu. Telah banyak
peristiwa-peristiwa yang dilewati. Begitu pula nasib yang menimpa Perang Rakyat
Silungkang 1927. Telah terlupa
bagaimana tegar para pejuang pada malam gelap itu berangsur bergerak menuju
medan perang dengan semangat menggebu dan menggenggap tekad, berjuang di jalan
Illahi demi esok yang lebih cerah. Terlupa pada
motivasi serta tujuan besar yang ingin dicapai oleh para pejuang itu. Tujuan
yang telah sanggup menggerakkan seluruh rakyat Silungkang dan sekitarnya rela
berkorban harta benda bahkan nyawa. Orang-orang
terlupa pada Asisten Residen Kees dan seorang Indonesia yang lebih Belanda dari
Belanda, yaitu Demang Rusad yang keduanya waktu itu bertugas di Sawahlunto.
Tuan Demang inilah dengan cemeti di tangan dan makian keji menyambut para
pejuang yang tertangkap ketika dimasukkan ke penjara Sawahlunto. Setiap lecutan
cemeti ke tubuh ribuan pejuang-pejuang itu disertai makian yang jika
diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berarti “Mampuslah kau semua komunis”. . .
Terlupa
orang bahwa apa yang diucapkan oleh Demang Rusad itu adalah sebuah kebohongan
besar. Tiap orang pasti tahu bahwa setiap kebohongan seperti yang dilontarkan
oleh Demang ini, apabila diulangi berulang-ulang, lama kelamaan akan diterima
oleh pendengarnya dan masyarakat sebagai suatu kebenaran. Demang Rusad pun tahu
akan hal ini karena dia sangat rajin melemparkan issue itu. Selain pembohong besar, Demang Rusad pandai pula mengambil keuntungan-keuntungan dari kesempitan
orang lain, terutama untuk menjaga citranya selamat sampai hari tuanya. Dengan melontarkan issue komunis kepada para pejuang PRS 1927 dia langsung
memetik keuntungan untuk masa yang panjang sampai akhir hayatnya.
Keuntungan-keuntungan itu ialah :
- Pada tahun 1927 itu ia dapat menunjukkan sikap yang loyal dan sekaligus sebagai pembongkar latar belakang terjadinya PRS kepada majikannya, Belanda.
- Dia menghilangkan kenyataan yang berada di masyarakat yaitu ketimpangan sosial-ekonomi-hukum antara si penjajah dan yang terjajah.
- Ketika Indonesia telah Merdeka dia dengan mudah mengelakan tuduhan sebagai penindas pejuang-pejuang pra kemerdekaan dan mengemukakan alasan bahwa yang ditindasnya di Sumatera Barat itu dahulu bukanlah para pejuang, tetapi kaum komunis yang di Sumatera Barat tidak pernah dapat tempat di hati masyarakat yang taat beragama ini, lebih-lebih masa sekarang.
Dengan
tenang dia bisa menikmati singgasana Residen Kedua di Padang pasca kemerdekaan.
Berbeda dengan rakyat yang ditindasnya dulu, para pejuang dan turunannya harus
berjuang jatuh bangun demi mempertahankan citra diri. Karena perbuatan Demang Rusad inilah rakyat Silungkang merasa malu
sekarang, karena di belakang perang Rakyat Silungkang diberi embel-embel
sebagai yang diorganisasi bersama-sama dengan PKI. Issue itu harus dibantah dengan menyodorkan bukti-bukti yang layak oleh
seluruh warga Silungkang.
1.1.2
Melupakan
Bagi rakyat
yang terjajah tindak tanduknya harus selalu dijaga agar tidak menyalahi
peraturan-peraturan yang dibuat oleh si penjajah. Kalau berani melanggarkan
berarti menerima satu perlakuan yang kejam dari si penjajah dan di Indonesia
penjajah itu adalah Pemerintah Kolonial Belanda. Cara apapun ditempuh oleh penjajah, intimidasi, teror dan paksaan-paksaan
agar si terjajah tunduk dan tidak bisa melawan. Rakyat Indonesia ratusan tahun
lamanya ditindas seperti ini termasuk juga rakyat Silungkang. Hal ini
menyebabkan rasa takut yang berlebih-lebihan hingga menimbulkan suatu anggapan
bahwa berurusan dengan pejabat hukum sudah merupakan aib dan tabu. Lebih-lebih
apabila mendapat hukuman badan langsung saja dicap sebagai penjahat.
Tak peduli
apapun perbuatan yang dilakukannya, baik karena berbuat untuk diri sendiri
untuk orang banyak atau untuk satu perjuangan kemerdekaan. Cap ini diturunkan
pula pada anak cucunya dan selalu saja dibumbui dengan cerita-cerita negatif
tentang orang itu. Bagi masyarakat seperti Silungkang hal itu sangat mengerikan
dan menjadikan malu berkepanjangan. Ada sebuah
cerita lucu bagaimana masih banyaknya orang Indonesia yang setelah masa
penyerahan kedaulatan dan merdekapun yang tidak mengerti artinya merdeka itu
dan tentu lebih-lebih lagi pra tahun 1927. Pada suatu rapat raksasa yang biasa diadakan tiap-tiap 17 Agustus di depan
Istana Merdeka massa telah berkumpul. Selain yang dikerahkan tentu banyak pula
yang datang atas kemauannya sendiri, seperti biasanya puncak acaranya pidato
Bung Karno. Di antaranya terselip seorang tua yang berasal dari pinggiran kota
Jakarta.
Betapa
hebatnya pidato Bung Karno tak sedikitpun orang tua itu tertarik dan
mengacuhkannya. Sehingga menarik perhatian seorang pemuda yang berdiri di
dekatnya. Karena tertarik akhirnya pemuda mencoba menanyain sebab-sebab tidak
tertarik sama sekali pada pidato Bung Karno itu.
Bertanya pemuda itu : “Bapak, apakah
Bapak tidak tertarik pada pidato Bung Karno ini, Pak !”
Jawab orang itu : “Dari tadi
saya memperhatikan pidato itu, tapi saya heran.”
“Apa yang Bapak herankan ?”
tanya pemuda itu.
“Bung Karno dari tadi pidato
tentang kemerdekaan melulu, coba anak tanyakan pada beliau itu, kapan kita ini
merdekanya.”
Bukan dimaksud lelucon ini
untuk menyebabkan tertawa tapi untuk menunjukkan apa yang tersirat dari lelucon
ini bahwa setelah berlalu sekian tahun kemerdekaan itu masih banyak rakyat
Indonesia yang tidak mengerti yang dimaksud dengan merdeka itu sebenarnya.
Sudah pasti pada tahun 1927 itu di Silungkang lebih banyak lagi yang tidak
mengerti. Apa gunanya berjuang untuk merdeka jika perjuangan hanya
menimbulkan/menyebabkan kesengsaraan. Tanpa kemerdekaan toh penghidupan telah
berjalan sesuai dengan garisnya, garis yang telah ditentukan Tuhan.
Jadi dari uraian di atas bisa
dilihat mengapa rakyat Silungkang itu berusaha melupakan peristiwa tragis dari
kekalahan perang 1927, ialah karena;
1. Takut
Ketika
peristiwa 1927 mengalami kegagalan total. Bencana yang tadinya tidak pernah
diperhitungkan menjadi kenyataan yang sangat pahit. Penangkapan, penganiayaan,
penistaan mencapai puncaknya hingga untuk mengingatnya saja orang sudah tidak
mampu. Traumanya membekas sangat dalam. Hingga tidak pernah kita mendengar di
sekolah di Silungkang, baik Silungkang belum merdeka dan sesudah merdeka.
Melupakan itulah satu-satunya diusahakan.
2. Malu
Anggapan
masyarakat bahwa orang yang pernah terhukum badan sebagai penjahat menyebabkan
rasa malu terutama bagi para pejabat pemerintahan pada masa 1927. Tak ada
alasan apapun untuk memanfaatkan mereka itu, sekalipun jelas-jelas apa yang
mereka lakukan adalah satu perjuangan di jalan Illahi dan yang diperjuangkan
adalah hari esok yang lebih baik. Mereka (pejabat-pejabat itu) mencoba
melupakan akibat yang jelek dari perang yang gagal itu. Pejabat-pejabat takut mereka-mereka itu mengulangi lagi perbuatan-perbuatan
mereka yang menurut pandangan pejabat-pejabat itu memalukan dan kalau dipakai
istilah sekarang sebagai penganggu stabilitas kampung halaman. Pejabat-pejabat
itu tak berani mengusir mereka secara kasar tetapi diusahakan secara halus
dengan antara lain membebaskan dari rodi/uang serayo asal mereka mau pergi
merantau. Bagi bekas
para pejuang yang telah kembali dari pembuangan, uang serayo/rodi merupakan
tambahan penghinaan bagi mereka, sebab hal itulah salah satu yang diperjuangkan
lenyapnya sehingga terpaksa menjalani hukuman. Bagi satu masyarakat seperti Silungkang yang waktu itu masih sangat terikat
pada kaumnya pergi keluar wilayahnya sendiri bukanlah hal yang enak.
Lebih-lebih pada permulaan tahun 1930 itu momoh malaise sedang mengancam
perekonomian seluruh dunia dan tentunya Indonesia yang pada waktu itu masih
disebut Hindia Belanda tak ketinggalan. Hingga selain bagi yang terlempar dari
kampung halaman berjuang memperbaiki kehidupan ekonominya merupakan hal yang
sangat berat, bagi anak isterinya lebih berat lagi. Banyak yang akhirnya terpaksa pulang kampung dengan beban mental yang lebih
berat karena kenyataan bahwa mereka-mereka itu tak dapat meraih apa yang
diharapkannya.
3. Tidak Mengerti
Inilah
akibat yang paling fatal dari segala macam usaha Rakyat Silungkang dalam
usahanya untuk tidak teringat pada Perang Rakyat Silungkang 1927. Ketidak mengertian bahwa dengan mencetuskan Perang Rakyat Silungkang 1927,
rakyat telah menuliskan sejarah dan masuk dalam deretan para pejuang-pejuang
yang mencoba merampas kembali kemerdekaannya dari penjajah Belanda yang telah
bercokol ratusan tahun lamanya. Tidak
mengerti bahwa pejuang-pejuang itu hanya berumur pendek dan sejarah itu tak
bisa berakhir sekalipun rakyat yang melahirkan pejuang-pejuang itu telah punah
seluruhnya. Setiap kali ada orang-orang yang akan mengkaji kembali dan
memberikan atau menambahkan versi baru pada sejarah itu. Tiap kali ditambahkannya kebenaran-kebenaran yang pada waktu lalu belum
terungkap. Karena
ketidak mengertian itu maka bukti-bukti otentik tentang perjuangan besar rakyat
Silungkang telah hilang begitu saja. Sehingga segala issue negatif yang timbul
sesudah perang itu tidak bisa disangkal dengan persiapan bukti otentik. Selalu
timbul keraguan tentang kebenaran dari perjuangan yang telah meminta nyawa,
harta, benda dan air mata. Kesalahan ini tidak hanya dibuat oleh Rakyat
Silungkang saja tetapi juga oleh suku-suku di Indonesia
lainnya.
1.1.3
Lupa
Dimuka kita
telah menandai tiga persoalan yang oleh RS lupa dibahas dan disoroti secara
layak selama ini. Belum pernah ditarik kesimpulan yang seragam tentang ketiga
persoalan ini. Juga belum
pernah sumber tentang PRS yang ada di Silungkang dan yang telah dianggap
sebagai kebenaran dibandingkan dengan sumber-sumber otentik yang memang telah
terbaku kebenarannya. Kita catat kembali ketiga persoalan itu.
a. Siapa yang menggerakan perang ini ?
b. Apa sebab terjadi perang ini ?
c. Apa tujuan yang akan dicapai oleh perang ini ?
1.2 Siapa Dalang Otak Peperangan
Ini ???
Untuk bisa
menjawab pertanyaan di atas kita harus kembali ke tahun 1908 yang oleh bangsa
Indonesia dicatat sebagai permulaan bangkitnya kesadaran Bangsa Indonesia
tentang martabatnya sebagai manusia dan bangsa. Peristiwa ditandai dengan
didirikannya organisasi Budi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 oleh R. Soetomo, dan kawan-kawan
di Jakarta. Tujuan dari
organisasi ini tidak tegas-tegas digariskan tetapi terasa sekali dititik
beratkan pada peningkatan pendidikan terutama di Jawa dan Madura. Boedi Oetomo berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka
budi pekertinya akan bertambah baik pula dan dengan demikian kesadarannya
sebagai manusia dan bangsa akan bertambah tinggi pula.
Kehadiran
Boedi Oetomo tahun 1908 itu sebenarnya telah didahului oleh sebuah organisasi
lainnya yang terutama bergerak di bidang perdagangan, yaitu Sarekat Dagang
Islam tahun 1905 di Solo oleh Bapak H. Samanhudi. Pada tahun 1911 organisasi
Dagang Islam ini dilebur menjadi Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S
Tjokroaminoto dan cendikiawan Islam. Berdirinya
Sarekat Islam ini adalah satu isyarat bagi Muslim Indonesia bahwa saatnya telah
tiba untuk tampil kepermukaannya sebagai satu kekuatan sosial, ekonomi dan
politik untuk melawan sistem jajah dan terjajah. Ditinjau dari anggaran dasarnya Sarekat Islam ini bukanlah organisasi yang mempunyai tujuan politik
dan ketata-negaraan tapi dalam sepak terjangnya di masyarakat jelas jangkauan
politik dan ketata negaraannya ada.
Dalam
periode pertamnya SI ini mencanangkan tindakan-tindakan gagah berani dari
sistem jajah-terjajah. Hal ini menyebabkan para anggotanya selalu siap
bertempur habis-habisan demi membela nusa, bangsa serta agama dari segala
penghinaan dan segala kecurangan. Dengan
manuver demikian itu serta ditambah lagi dengan sifat terbukanya organisasi SI
ini dengan mau menerima anggota dari seluruh lapisan masyarakat jadilah
organisasi ini sebagai organisasi massa yang pada Kongres Nasional 1916 di
Bandung telah punya 80 (delapan puluh) cabang yang tersebar di seluruh
Nusantara dengan anggota aktif + 400.000,- (empat ratus ribu orang). Karena dalam waktu yang singkat SI telah menjadi satu
organisasi yang besar dan tersebar luas di Indonesia maka kendala yang dihadapi
Serikat Islam menjadi besar pula. Kendala-kendala itu dapat kita bagi dua
menurut dari mana asal datangnya.
1.2.1
Kendala yang Datang dari Luar Organisasi
Kendala-kendala
yang datang dari luar organisasi itu sebenarnya sangat banyak, tapi di sini
hanya akan diungkapkan yang jelas saja dimana setiap orang bisa mengetahuinya,
dan merasakannya. Yaitu yang datang dari Pemerintahan Jajahan Belanda yang pada
waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Indenburg ini mensinyalir di dalam Sarekat Islam Terdapat unsur-unsur revolusioner. Sebelum ia mengambil putusan politik untuk Sarekat Islam dia menerima nasehat pada para residen lebih dahulu.
Hasilnya ialah :
- Sarekat Islam tidak boleh berupa organisasi yang punya pengurus besar.
- Sarekat Islam hanya boleh berdiri secara lokal.
- Untuk tiap-tiap cabang diharuskan mempunyai badan hukum sendiri yang terlepas satu dengan yang lainnya.
Sebagai akibat dari peraturan itu
ialah :
- Hubungan hukum antara Pengurus Besar dan cabangnya serta antar cabang boleh dibilang tidak ada sama sekali. Tiap-tiap cabang punya kedaulatan sendiri-sendiri. Walaupun secara organisasi hubungan itu ada tapi dengan peralatan serta pengalaman mengelola organisasi yang dipunyai Indonesia saat itu sangat minimum maka kontrol oleh Pengurus Besar terhadap cabang-cabang itu sangat kurang dan tidak layak. Karenanya banyak tindakan-tindakan pimpinan-pimpinan lokal tidak dipertanggung jawabkan ke Pengurus Besar. Bahkan banyak instruksi-instruksi yang tidak terlaksana karena kendala-kendala setempat.
- Pengaruh pimpinan-pimpinan lokal itu terhadap organisasi sangat dominan. Instruksi dari pusat sering diabaikan, sedangkan perintah pimpinan lokal walaupun bertentangan dengan instruksi PB dijalankan secara sungguh-sungguh.
- Sebagai akibat dari kedua hal di atas maka terhadap penerimaan anggota pun kurang terseleksi. Lebih-lebih di mana kondisi organisasi pada waktu itu memungkinkan seseorang menjadi anggota beberapa organisasi sekaligus. Hingga banyak oknum yang punya maksud-maksud tertentu diterima menjadi anggota SI salah satu contohnya ialah apa yang terjadi di cabang SI Semarang ketika dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Sebenarnya kedua oknum tersebut adalah Kader H.O.S Tjokroaminoto, tetapi setelah di Semarang keduanya masuk Indische Social Democratische Vereniging (I.S.D.V) suatu organisasi yang didirikan oleh orang-orang Belanda di Indonesia dan berhaluan Marxis. Di kemudian hari kedua-oknum ini menjadi musuh SI dan menyebabkan perpecahan di SI
- Peraturan yang dikeluarkan oleh Penjajah mengandung bibit-bibit perpecahan yang dikemudian menjadi kenyataan, sesuai dengan harapan si pembuat undang-undang. Karenanya perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya melemah pula.
1.2.2
Kendala Dari Dalam Organisasi
Sesudah
Kongres SI 1916 dalam tubuh organisasi ini terjadi kristalisasi. Mereka telah
menentukan sikap dan cara-cara yang pasti dalam menempuh perjuangan untuk
mencapai cita-citanya. Dan G. Kachi mengelompokkan mereka menjadi tiga.
- Golongan Fanatik Islam
Kelompok ini
mencoba menerapkan kaidah-kaidah Islam sejauh yang
dimungkinkan dalam perjuangan untuk mencapai
cita-citanya.
- Golongan Moderat
Kelompok ini
tidak berkeberatan bekerja sama dengan Pemerintahan jajahan sebagai taktik
untuk mencapai cita-cita perjuangannya.
- Golongan Keras
Sikap
frontal terhadap penjajah. Tapi disamping itu pemimpinnya banyak menyerap
teori-teori marxis sebagai teori perjuangan untuk mencapai cita-citanya (sama rasa-sama rata).
Pada periode permulaan
walaupun ada perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok itu, belumlah
mengakibatkan perpecahan. Ini terbukti pada saat Islam dan Indonesia mendapatkan perlakukan tidak adil mereka serentak bangkit dengan sikap sama
menghadapinya. Ini juga berkat tali kerohanian Islam yang masih kuat. Tetapi sesudah periode 1917 – 1920 group keras yang dipimpin oleh Semaun cs
semakin tenggelam dalam ajaran Marxis. Semaun cs ini selain menjadi Pengurus SI
Semarang menjadi juga pimpinan PKI. Perpecahan naik ke permukaan dan terlihat
sebagai perbedaan ideologi. Akhirnya
terjadi dua pool yang berbeda ideologi. Pool yang satu dipimpin oleh H. Agus
Salim cs dan yang satu dipimpin oleh Semaun cs. Yang dipimpin oleh H. Agus
Salim berorientasi pada Islam Nasional dan yang dipimpin oleh Semaun berfaham
Marxis.
Dengan cara
apapun kedua pool itu tak bisa disatukan sebagai akibatnya timbul gagasan
organisasi SI Untuk menegakkan disiplin. Dianut prinsip setiap anggota SI tidak
dibolehkan merangkap keanggotannya dengan organisasi lain. Dalam kongres SI 6
April 1920 di Yogyakarta gagasan itu dituangkan menjadi peraturan. Betapapun
gigihnya golongan Semaun cs untuk menolak gagasan itu tak berhasil sama sekali
dan peraturan itu telah jadi kenyataan. Semaun adalah Kader Sarekat Islam
yang digembleng langsung oleh H.O.S Tjokroaminoto. Pada tahun 1916 dia dari
Surabaya dipindahkan ke Semarang untuk memperkuat cabang ini. Tugasnya di
Semarang dilaksanakannya dengan baik. Hingga dalam waktu yang singkat dia dapat
melipat gandakan anggotanya.Kecakapan di bidang organisasi terlihat oleh ISDV
yang pada waktu itu dipercaturan pergerakan Nasional belum mendapat tempat dan
sedang giat berusaha menginfiltrasi SI untuk mendapatkan massa. ISDV berhasil merekrut Semaun, bahkan tidak hanya sebagai anggota tetapi
sebagai Pengurus. Sebenarnya ISDV (singkatan dari Indische Social Democratische
Vereniging) adalah embrio dari Partai Komunis Indonesia. Ini ternyata dalam Kongresnya yang ke VII tanggal 23 Mei 1920 namanya
diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan Semaun menjadi ketuanya. Pada Kongres
istimewa tanggal 24 Desember 1920 keputusan Kongres ke VII dipertegas kembali
dengan merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia.
Diputuskan
pula untuk memasuki Komintern dan berapresiasi dengan Komintern Asia. Sudah
tentu dengan keputusan itu partai ini menjadi partai yang kiblatnya tidak
nasionalis lagi tetapi “kiblatnya” ke Moskow sebagai Pusat Komunis sedunia.. Sudah tentu semua sepak terjangnya serta strategi perjuangannya disesuaikan
dan tunduk pada perintah Moskow. Ketika SI
dalam Kongresnya tahun 1921 mengeluarkan larangan bagi anggotanya untuk
mempunyai keanggotaan rangkap dengan organisasi lain, kedudukan Semaun di masyarakat
sangat mapan dan punya karir yang kuat baik di dalam ataupun di luar SI di
dalam SI dia adalah Komisaris Cabang SI Semarang dan di luar SI dia adalah
Ketua Partai Komunis Indonesia Pusat. Dalam kondisi yang demikian itulah Semaun
cs dikeluarkan dari SI Tetapi
Semaun tidak tinggal diam. Segera dia mengumpulkan cabang-cabang SI Yang
bersimpati kepadanya hingga pada tahun 1923 dia telah dapat mendirikan SI Merah
untuk menandingi SI asli yang disebut juga dengan SI putih. Di mana ada cabang
SI putih di situ didirikannya pula SI Merah. Sehingga keadaan pada tahun-tahun
itu keadaannya berimbang. Ketika
perkembangannya bertambah pesat, maka pada tahun 1924 SI Merah ini diubah
namanya menjadi Serikat Rakyat. Di samping itu didirikan pula cabang PKI di
mana ada cabang Serikat Rakyat. Maksud dari mendirikan cabang-cabang itu
merupakan alat kontrol bagi segala kegiatan Serikat Rakyat serta juga merupakan
persiapan untuk konsolidasi organisasi di masa mendatang.
Akhirnya
ketika PKI sudah merasa mantap maka pada Kongresnya di Kota Gede Yogyakarta
bulan Desember 1924 Serikat Rakyat dilebur masuk PKI. Kami memberi garis tebal pada peleburan Serikat Rakyat
di dalam tahun 1924 bulan Desember ini karena mulai tanggal itu seluruh Serikat
Rakyat mulai dari pusat dengan pengurus besarnya serta cabang – anak cabang –
rantingnya sudah tidak punya legalitas lagi dan tidak ada lagi. Ini penting
sekali terutama nanti ketika kita membicarakan legalitas dari S.R. Silungkang Sumatera
Barat dikenal juga dengan nama Minangkabau. Walaupun Minangkabau ini mulanya
adalah sebuah kerajaan, namun tatanan masyarakat diatur secara demokrasi dan
komunikasi dua arah merupakan tradisi. Semua persoalan yang menyangkut apapun
selalu saja diputuskan secara musyawarah oleh semua pihak yang terkait dengan
persoalan itu. Keputusan yang diambil mengikat semua pihak baik yang setuju
ataupun tidak setuju dengan keputusan
itu.
Unsur agama
Islam masuk dalam tatanan masyarakat Minangkabau/Sumatera Barat secara dominan
seusai Perang Padri, dan dengan itu pula Kerajaan Minangkabau kehilangan
legalitasnya.13) Jadi disini kita melihat bahwa secara regional
kesadaran sebagai manusia/bangsa di Minangkabau sudah ada bahkan berakar ke
segala lapisan masyarakat. Tidaklah
mengherankan jika gema kebangkitan berbangsa ke seluruh Nusantara oleh Budi
Utomo tahun 1905 dicanangkan di Jakarta disambut dengan gegap gempita di
Sumatera Barat. Bahkan di daerah pedalaman seperti di Silungkang dan sekitarnya
mendapat pengikut yang gigih, berani dan tak kenal menyerah.
Silungkang
adalah sebuah desa yang alamnya tidak ramah dan tidak menjanjikan penghidupan
santai dari pertanian. Walaupun desa ini dibelah dua oleh sebuah sungai tetapi
sungai itu tak bisa dimanfaatkan secara maksimal, selain karena dihulunya bukitnya
sudah gundul yang sering menyebabkan banjir, juga di kedua sisi sungai tidak
cukup tersedia dataran. Dataran yang
sedikit di tepi sungai itu tidak memadai jangankan untuk pertanian, untuk
pemukiman saja tidak cukup hingga banyak warga yang mendirikan rumahnya di
perbukitan. Hal yang demikian itu menyebabkan warga memilih penghidupan dari
perdagangan dan pertenunan.
Dengan
memilih penghidupan yang demikian maka wataknya pun mengikuti pola
penghidupannya. Ramah, sidik-midik, hemat, tekad, percaya diri menjadi watak
umum warga Silungkang sekalipun hanya pedagang makanan. Tidak sidik dan midik
pedagang tak akan mampu menilai dan melihat barang apa yang laku pada masa itu. Hemat harus dipakai agar modal tidak habis bahkan bertambah. Tekun, percaya
diri harus dipunyai oleh siapa pun yang ingin berhasil. Karena itu
warga Silungkang untuk mengambil suatu putusan atau pilihan, dilalui proses
pemikiran yang mendalam dihitung untung ruginya dari segala segi dan pilihan
atau putusan yang ditetapkan itu, apapun akibatnya akan dihadapinya tanpa
penyesalan. Harus diakui
bahwa dalam mengulas watak warga Silungkang ini banyak kekurangannya tapi yang
ingin ditonjolkan di sini dalam mengenang PRS 1927 warga Silungkang telah
menunjukkan sifat tegarnya tidak mudah terpengaruh dan tetapi pada pilihannya
walaupun tahu bahwa itu akan beresiko besar. Begitu juga ketika warga Silungkang memilih Serikat Islam sebagai wadah
perjuangan untuk turut berjuang bersama seluruh bangsa Indonesia, dalam satu
perjuangan besar, mencapai Indonesia merdeka.
Pilihan ini
bukan karena ingin ikutan-ikutan atau karena terpesona oleh tindak-tanduk
organisasi SI itu. Telah dilalui pemikiran yang mendalam dan pemantauan cermat
terhadap organisasi itu. Dipantau asas serta tujuan serta cara-cara
memperjuangkan tujuan itu. Bahkan para pendirinya menyempatkan diri untuk
melakukan lobbying ke Jawa untuk keperluan itu. Kemudian ditariklah kesimpulan di mana SI dianggap cocok dengan apresiasi
warga Silungkang dalam menempuh perjuangan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1915
didirikanlah SI di Silungkang oleh Sulaiman Labay cs. Sebelum itu Sarekat Dagang Islam telah ada
juga di Silungkang. Secara organisasi SDI pada tahun 1911 di Jawa dilebur
menjadi SI, tapi ini tak langsung dikerjakan oleh warga di Silungkang. Empat
tahun kemudian baru terlaksana. Lagi ini suatu bukti berdirinya SI di
Silungkang bukan tanpa pemikiran dan pemantauan. Empat tahun cukup lama. Kehadiran SI di Silungkang ini tidak langsung mendapat simpati dari
warganya. SI harus membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi yang
betul-betul berjuang demi kepentingan orang banyak, tanpa pembuktian jangan
harap mendapat simpati.
Kesempatan
ini diperoleh Sulaiman Labay cs pada tahun 1918. ketika itu terjadi kekurangan
beras di Silungkang. Sulaiman Labay cs menyita dua gerbong beras milik Belanda
dan langsung membagi-bagikannya kepada seluruh warga. Pembagian itu merata tanpa
pilih-pilih. Semua yang datang ke tempat pembagian mendapat bagiannya. Sejak
peristiwa itu SI mendapat tempat di hati masyarakat Silungkang dan kharisma
Sulaiman Labay sebagai pimpinannya menembus batas desanya dan dianggap sebagai
pimpinan yang pantas jadi panutan. Dengan kondisi dan situasi yang demikian
Sulaiman Labay mulai menggembleng kader-kader muda SI. Pendidikan kader ini tidak hanya mengenai politik dan segala aspek yang
terkait untuk mencapai Indonesia merdeka, tapi juga mengenai agama. Dengan gemblengan ini diubah cara memandang kehadiran Belanda di persada
Tanah Air ini. Kalau tadinya Belanda harus dianggap sebagai yang dipertuan dan
harus dipatuhi segala perintahnya dan dipenuhi segala keinginannya, kini harus
dianggap sebagai musuh dan penghisap darah rakyat yang harus segera dienyahkan
dari tanah air dengan segala cara yagn diridhoi Tuhan sesegera mungkin.
Dipompakan
keberanian dan ditingkatkan percaya diri. Banyak kader-kader yang kurang
militant dan mendapat pengaruh dari luar, tapi tak sedikit pula kader-kader
yang menjadi sangat militant. Lebih-lebih kader yang hanya menerima
pengemblengan dari Sulaiman Labay dengan secara langsung. Kader-kader ini tidak menganggap Sulaiman Labay sebagai pimpinan SI saja,
tapi juga sebagai bapak – kawan – dan orang tua yang layak menerima
penghormatan dan tumpuan segala harapan di masa datang. Kader ini dalam segala
gerak perjuangan selalu berada paling depan, dan selalu saja menjadi penumpas
keraguan-raguan bila datang dalam hati anggota-anggota SI lainnya. Jika pada mulanya rasa ketidak-sukaan pada Belanda hanya ada dihati
perorangan saja maka kini rasa kebencian Belanda mengkristal sebagai kebencian
seluruh lapisan masyarakat terhadap penjajah Belanda dengan segala sistem
pemerintahannya. Kemerdekaan
menjadi semacam ilusi yang harus diperoleh dengan jalan apapun juga selekasnya. Salah satu sebab Sulaiman Labay mau bergabung dengan SI ialah karena sifat
organisasi yang otonom. Hingga dia memiliki lebih banyak kebebasan bergerak.
Banyak ide-idenya tersalur dalam organisasi ini.
Salah satu
contoh yang paling komplit ialah : penyitaan dua gerbong beras milik Belanda di
stasiun Silungkang. Dia tidak harus minta izin lebih dahulu kepada induk
organisasi, baik yang di Padang maupun di Jawa. Bahkan tidak harus mempertanggungjawabkannya kepada induk organisasinya, barangkali
melaporkannya saja tidak. Ketika ia ditangkap Belanda karena perbuatan itu ia
pun tidak menunjuk siapapun yang bertanggung jawab kecuali dirinya sendiri.
Sifat-sifat otonom dari organisasi oleh Pengurus SI dipertahankan terus
walaupun terjadi perpecahan dalam SI. Walaupun SI
Silungkang bergabung dengan SI Merah, dimana garis organisasi diatur dari
pusat, Silungkang tidak melakukannya. Ini terbukti ketika diputuskan bahwa SI
Merah diubah namanya menjadi Sarekat Rakyat di mana ditentukan pula bahwa di
setiap cabang SR harus didirikan pula cabang PKI maka di wilayah Silungkang dan
sekitarnya hal itu tidak dilakukan. Bahkan ketika Sarekat Rakyat ini dilebur
masuk PKI, Silungkang tetap memakai nama Sarekat Rakyat untuk organisasi.
Di Jawa hal
itu tak ada lagi, yang ada hanya PKI dengan organisasi-organisasi yang tidak
bersifat keagamaan. Di sini tampak bahwa organisasi SR di Silungkang hanya
luarnya saja yang bergabung dengan SR lain, tetapi secara organisasi tidak
melakukan instruksi pusatnya bahwa seolah-olah lepas sama sekali. Dalam memorinya Bung Hatta menulis, bahwa Semaun pernah bercerita kepada
beliau bahwa cita-cita untuk memberontak terhadap Belanda diputuskan konferensi
PKI Desember 1925 di Prambanan. Rencana akan dilaksanakan pada tahun 1926 dan
itu disetujui oleh semua pengikut Kongres, kecuali Tan Malaka (kehadiran Tan
Malaka pada Kongres itu oleh Bung Hatta diragukan karena waktu itu ia berada di
Filipina). Pertemuan
Hatta – Semaun ini terjadi di Den Haag negeri Belanda. Untuk
mendapatkan izin dari Moskow maka diutuslah Alimin/Musso dan berangkat dari
Indonesia bulan Maret 1926. Dengan adanya keputusan itu maka suhu politik
di Indonesia memanas. Kegiatan
luar biasa terjadi di seluruh Indonesia termasuk juga di Silungkang di mana SR
nya secara yuridis tidak berfungsi lagi setelah di Kongres tahun 1924 dilebur
masuk PKI, Sedangkan seperti kita lihat hal itu tak pernah dilakukan SR
Silungkang. Dilakukan
diskusi antar pimpinan SR di Silungkang dan wilayah sekitar untuk mencari
rumusan yang tepat bagaimana cara perlawanan yang diadakan.
Disini
nampak bahwa intruksi pemberontakan yang diterima SR Silungkang dan sekitarnya
tidaklah lengkap. Ketidak jelasan instrukSi ini menyangkut beberapa sebab. Di
antaranya ialah : ketidak jelasan status SR Silungkang dan sekitarnya. Dan yang
lain ialah : Konsep yang disusun oleh pimpinan PKI pusat untuk berontak tidak
lengkap, tidak dilandasi suatu analisa pragmatis mengenai situasi dan kondisi
sosial-ekonomi-budaya masyarakat kala itu. Konsep itu disusun dengan
tergesa-gesa serta penuh agitasi. Karena situasi yang demikian Belanda dan
polisi rahasianya tidak tinggal diam. Bocornya rahasia pemberontakan ini
bukanlah satu hal yang tidak logis, maka bersamaan dengan itu dimulai pulalah
penangkapan-penangkapan oleh Belanda terhadap tokoh-tokoh pimpinannya. Hasil diskusi SR Silungkang dan wilayah sekitarnya ialah mengadakan rapat
gabungan. Rapat yang diselenggarakan di Padang Sibusuk itu dihadiri 20-30
orang. SR Silungkang mengutus tiga orang ialah (1) Sdr. Muchtar (Kutai), (2)
Sdr. Thoib Onga dan (3) Sdr. H. Jalaludin. Rapat dipimpin oleh Sdr. Muchtar (Kutai) dan berjalan seru, karena sebagian
utusan yang hadir beranggapan bahwa rapat ini tidak mempunyai wewenang untuk
mendirikan badan organisasi di dalam organisasi. Tapi rapat dengan suara
terbanyak memutuskan mendirikan Barisan Berani Mati atau nama lain ialah
Serikat Hitam. Lagi-lagi SR Silungkang mengambil inisiatif sendiri dengan
tidak menghiraukan hirarki partai atau organisasi.
Ketika
keputusan rapat di Padang Sibusuk sekitar April 1926 dimintakan pengesahan pada
instansi organisasi yang lebih tinggi itu ditolak. Sekali lagi SR Silungkang
bertindak sendiir, yaitu dengan tidak membubarkan Sarikat Hitam tapi membinanya
secara intensif. Sulaiman
Labay sebagai pimpinan SR Silungkang seharusnya menyelesaikan persoalan ini
hingga tuntas, karena ia tak bisa terlepas dari tanggung jawab. Lebih-lebih
lagi bahwa Muchtar (Kutai) cs hadir dalam rapat April 1926 di Padang Sibusuk
adalah sebagai wakil resmi dari SR Silungkang dari jadi pimpinan rapat. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Belanda di berbagai tempat di
Indonesia akhirnya sampai juga di Silungkang, yaitu pada bulan Mei 1926. Pada
bulan itu Sulaiman Labay cs ditangkap. Sarekat Rakyat kehilangan
pimpinan-pimpinan seniornya, dan kader-kader muda didorong ke atas dan tampil
kepermukaan. Mereka adalah kader-kader gemblengan lebih fanatik, lebih
bersemangat dan lebih muda dengan pengalaman yang masih muda pula.
Demikian
juga yang terjadi di SR Silungkang. Kader-kader Sulaiman Labay cs tampil dan
Thaib Onga yang dikenal sebagai pelopor pembentuk Sarekat Hitam, kini jadi
Ketua Sarekat Rakyat Silungkang.21) Dengan sendirinya kehadiran
Sarekat Hitam tak dipersoalkan lagi, malah berubah menjadi kekuatan inti di
wilayah Silungkang dan sekitarnya. Seperti
telah disinggung di atas bagi kader SR di Silungkang Sulaiman Labay bukan hanya
pimpinan SR tetapi juga sebagai panutan, bapak dan saudara. Penangkapan
terhadap beliau di mata mereka merupakan puncak ketidak adilan dan puncak
tantangan bagi mereka dari penjajah Belanda. Hingga dalam perencanaan perang membebaskan tawanan politik dan Sulaiman
Labay cs dari penjara Sawahlunto dimasukkan ke dalam perencanaan. Tekad untuk
memerangi Belanda makin terkristal dan persiapan ke arah itu makin disegerakan. Dari berbagai buku rujukan yang digunakan untuk menyusun karangan ini tidak
ada satupun yang menceritakan dari mana asalnya biaya digunakan untuk
mengadakan logistik yang sangat sederhana maka dana yang dimiliki SR Silungkang
dan sekitarnya jelas tidak pernah menerima bantuan dari luar wilayah apalagi
luar negeri. Jadi dana
itu dikumpul dari masyarakat sekitarnya saja dan disumbangkan dengan keikhlasan
yang tulus dan tidak minta dihargai atau mengharapkan balasannya. Semua diamalkan
demi menunjang perang sahid semata-mata. Semua turut
menyumbang sesuai dengan kemampuannya dan ini semua diterima dan dipergunakan
dengan sebaiknya. Ini juga sebagai bukti bahwa Perang Rakyat Silungkang bukan
hanya diingin oleh segelintir pimpinan-pimpinan SR Silungkang dan sekitarnya,
tapi memang hasrat dari seluruh masyarakatnya dan orang-orang yang tidak
menyetujui perang itu hanya beberapa orang saja. Seluruh masyarakat ingin
mendapatkan hari esok yang lebih layak dan berkeadilan.
Memang semua
perjuangan lebih-lebih bila itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, tanpa
dukungan masyarakat jangan harap berhasil, tapi sebaliknya setiap perjuangan
dari semula sudah menyimpan kemungkinan gagal walau pun didukung segenap
lapisan masyarakat. Saat itu
tekad seluruh lapisan masyarakat di Silungkang sudah bulat untuk memerangi
Belanda walau apapun yang menjadi taruhannya dan begitu juga tekad pada
pimpinan SR. Yang menjadi
soal kini ialah mendapatkan informasi yang bisa dipercaya tentang hari D, sehingga
perang yang akan dikobarkan, di Silungkang itu bisa dilakukan serentak dengan
perang di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Untuk kepentingan itu diutuslah kurir-kurir ke Jawa, Padang dan Padang
Panjang, sedang di wilayah Silungkang sendiri konsolidasi dilakukan terus
menerus. Ketegasan tentang perang itu baru didiapat pada tanggal 21 Desember
1926 ketika H. Jalaludin kembali dari Padang dan informasi itu disampaikan di
muka rapat yang dihadiri + 30 orang utusan SR Silungkang dan wilayah
sekitarnya. Rapat itu
bertempat di Ngalau Basurek Taratak Boncah yang memang sudah beberapa waktu
dijadikan markas Perang Rakyat Silungkang. Informasi yang disampaikan antara
lain :
- Pemberontakan di Jawa gagal total dan seluruh organisasi PKI/SR dibubarkan oleh Pemerintah Belanda.
- Mengingat situasi yang sedemikian itu maka Konferensi darurat di Koto Laweh berkeputusan tidak melakukan pemberontakan dan tidak menyetujui pemberontakan- pemberontakan SR cabang manapun juga di wilayah Minangkabau/Sumatera Barat. Ketentuan ini tentu juga berlaku bagi SR Silungkang dan wilayah sekitarnya.
Situasi itu menghadapkan SR
Silungkang dan sekitarnya kepada dua alternatif, yaitu :
- Melanjutkan rencana perang.
- Tidak melanjutkan rencana perang.
Jika
alternatif pertama yang diambil berarti SR Silungkang harus berdiri sendiri
menghadapi perang ini, baik secara moral maupun material. Apapun alasan yang
dipakai oleh SR Silungkang dan sekitarnya untuk memerangi Belanda, SR wilayah
Minangkabau lainnya tidak ikut terlibat. Sedang jika
alternatif kedua yang diambil itu tidak sesuai dengan watak yang dimiliki orang
Silungkang, seperti yang diuraikan di atas. Watak yang mandiri, tekun, serta
percaya diri. Ketika
menghadapi situasi yang demikian inilah watak asli dari rakyat Silungkang
berperan mengambil keputusan. Putusan yang diambil, perang yang persiapannya
sudah dianggap masak dilanjutkan dan sekaligus ditentukannya harinya, yaitu
tanggal 1 Januari 1927 dan komando perang diserahkan kepada Sdr. Thaib Onga.
Putusan ini diambil secara aklamasi. Suatu putusan yang gagah berani walaupun
tahu bahwa putusan itu mengandung resiko yang besar.
Tidak
dilanjutkan cerita ini dengan jalannya peperangan, karena itu bukan sasarannya.
Tapi yang ingin diungkapkan dan dibuktikan di sini ialah siapa yang sebenarnya
menggerakkan Perang Rakyat Silungkang 1927 ini. Apakah memang benar bahwa PKI ada turut andil dalam perang ini, baik moral,
material atau ideal ? Tapi sebelum memberi jawaban yang tegas baiklah kita
simpulkan uraian panjang lebar diatas.
2.1 Sumbangsih Secara Moral
Putusan
Konferensi darurat SR di Koto Laweh dengan tegas mengatakan bahwa SR Sumatera
Barat tidak menyetujui perang melawan Belanda pada waktu itu dikobarkan di
Minangkabau/Sumatera Barat pada umumnya dan tentu juga di Silungkang dan sekitarnya
khususnya. Jika SR
Silungkang dan sekitarnya akan melanjutkan juga perang melawan Beladan, maka SR
Pusat dari wilayah di luar Silungkang dan sekitarnya menyatakan diri tidak
terikat. Baik secara
organisasi atau secara perorangan pemberontakan yang akan dilakukan oleh SR
Silungkang dan sekitarnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab SR Silungkang dan
sekitarnya. Jadi jelas
di sini bahwa Silungkang dan wilayah sekitarnya melakukan perang tahun 1927
murni atas kemauan sendiri tanpa ada campur tangan dari luar. Semua adalah
tanggung jawab rakyat dan para pimpinannya.
2.2 Sumbangsih Secara Material (Logitic)
Sejak semula
perang Rakyat Silungkang 1927 segala biayanya diusahakan secara swadaya. Tidak
ada bantuan diterima dari dalam negeri ataupun luar negeri. Baik dari induk
organisasi di Sumatera Barat. Semua dana yang diterima berasal dari dalam
wilayah Silungkang dan sekitarnya. Semua
sumbangan masyarakat Silungkang dan sekitarnya. Jadi ketika keputusan Koto
Laweh disodorkan di Rapat SR Silungkang 21 Desember 1926 soal materi dan dana
lainnya tidak mengubah rencana apa pun di bidang ini. Sekali lagi kita
membuktikan sifat kemandirian dari Perang Rakyat Silungkang 1927 ini.
2.3 Secara Ideal
Ide untuk
memberontak terhadap Belanda di Indonesia baru dimulai oleh PKI/SR pada tahun
1925, yaitu di Konferensi Prambanan dan kemudian ditularkan ke seluruh
cabang-cabang PKI/SR di seluruh Indonesia. Tapi rakyat Minangkabau termasuk
rakyat Silungkang dan sekitarnya telah lama memiliknya. Ketika Belanda pertama kalinya menginjakkan kakinya di pantai Sumtera
Barat/Minangkabau rakyat mulai pula memeranginya dan semangat ini secara
berlanjut diwariskan dan pada tahun 1927 Rakyat Silungkang dan sekitarnya
sebagai pewaris mencetuskan perang melawan Belanda. Kini barulah dijawab pertanyaan :
2.3.1
Siapa yang Menggerakkan Perang Ini ???
Dengan
uraian yang panjang lebar terbukti baik secara moral, material dan ideal Perang
Rakyat Silungkang 1927 secara murni digerakkan oleh Rakyat Silungkang dan
sekitarnya, tanpa bantuan dari pihak manapun. Jadi tidak ada hak atau apapun
pihak manapun yang juga bisa mengklaim bahwa mereka turut berperan dalam perang
itu. Tidak juga PKI, seperti yang tertulis di buku halaman 54 yang diterbitkan
Kementerian Penerangan, juga tidak Demang Rusad. Jadi tidaklah pula Rakyat Silungkang harus malu dan takut untuk mengenang
peristiwa itu, karena Perang Rakyat Silungkang 1927 “tidak ada kaitannya” sama
sekali dengan PKI. Berbanggalah
Rakyat Silungkang hendaknya. Negarapun mengakui kepahlawanan pejuang-pejuang
tahun 1927 ini.
2.3.2
Apa penyebab Terjadi Peperangan Ini ??
Sumatera
Barat sebelum masuk menjadi jajahan Belanda adalah sebuah kerajaan demokratis
dan berdaulat penuh. Silungkang sebagai salah satu nagari dalam wilayahnya,
termasuk dalam tatanan kerajaan itu dan menyandang gelar Gajah Tongga Koto
Piliang dan gelar itu tidak diberikan kepada perseorangan, tetapi desa itu dan
seluruh penduduknya dan ini memberikan rasa kebanggaan yang besar bagi seluruh
penduduknya. Ketika
penjajah menginjakkan kakinya di pasir pantai Kerajaan Minangkabau, perlawanan
terhadap Belanda ini pun dimulai pula. Perlawanan ini berlangsung terus menerus
dan dari generasi yang satu diwariskan kepada generasi berikutnya dan juga
kepada rakyat Silungkang dan sekitarnya. Penjajahan
Belanda dengan segala daya mengikis habis segala perlawanan rakyat Minangkabau
ini dan celakalah siterjajah karena setiap kekalahan memukul juga mental mereka
dan semakin lama mereka semakin kerdil dan penakut. Tapi disetiap ujung paling
akhir dari ketakutan berdirilah di situ keberanian dan kerelaan ditindas pada
ujung terakhirnya ialah perlawanan. Begitu juga
terjadi di Silungkang, ketika penderitaan dan penghinaan terasa tak
tertanggungkan lagi dan didorong oleh para cendekiawan dan alim ulama,
meletuslah perlawanan itu. Meletus bagai gunung berapi dan siapapun tak sanggup
lagi menghalanginya. Pada tanggal
1 Januari 1927 berangkatlah putra-putra terbaik Silungkang dan sekitarnya ke
medan perang mengusir penjajah Belanda. Jadi dalam Perang Rakyat Silungkang
1927 ini yang bicara ialah kesadaran sebagai manusia dan bangsa serta hak untuk
menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang pernah besar, berjaya dan
merdeka.
2.3.3
Apa Tujuan yang Hendak Dicapai Dari Peperangan Ini ??
Akan disitir dialog “dua orang” anak
Indonesia dari Minangkabau.25) Kedua anak Indonesia posisi dan
kepentingannya berbeda. Yang satu sebagai pejuang melawan penjajah Belanda.
Yang lain berdiri dengan pakaian dan tanda-tanda kebesarannya seorang kaki
tangan Belanda yang setia. Yang kedua
ini penuh kelicikan, kejam dan sanggup mengorbankan bangsanya demi kenikmatan
pribadinya. Manusia yang sempat menikmati hasil kemerdekaan walaupun di tahun
1927 penindas pejuang kemerdekaan. Ia menyandang gelar terhormat : Datuk
Perpatih Baringek. Jabatan terakhir Pembantu Gubernur Sumatera di Medan mulai
14 Maret 1946. Orang itu ialah Rusad yang pada tahun 1928 itu
baru berpangkat Mantri Polisi dan bertugas di Sawahlunto. Dihadapannya dalam pakaian terpidana dengan hukuman 28 tahun bersama dengan
kawan-kawannya. Pejuang yang diakui oleh seluruh rakyat Indonesia dan oleh
Pemerintah Republik Indonesia sebagai pejuang Perintis Kemerdekaan. Dialah
Pejuang Tua Sulaiman Labay yang sampai akhir hidupnya di penjara Ambarawa
tanggal 14 Agustus 1945, tak pernah mau mengkompromikan cita-cita kepada
penjajah manapun juga, baik Belanda maupun Jepang. Tempat peristiwa dialog :
pelataran Kantor Penjara Sawahlunto, tanggal tak jelas, bulan Maret 1928, jam
17.00.
Mantri Polisi Rusad berujar lebih
dulu tentunya dalam bahasa daerah Minangkabau, yang kalau diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia akan berarti sebagai berikut :
“Kamu semua telah merasakan tanganku. Tentu kamu
menaruh dendam kepadaku. Tapi jangan harap kamu semua dapat membalas dendam
itu. Sekalipun kini ada Sukarno mengikuti jejak kalian yang hendak merdeka dan
hendak menjadi raja. Besok pagi kalian semuanya berangkat untuk jadi raja dan
rakyat di hotel prodeo di tanah Jawa.”
Ketika kepada para pejuang diberikan
kesempatan untuk menyambut ejekan ini, majulah Sulaiman Labay si Pejuang Tua.
Diucapkannya terima kasih atas ejekan itu dan baru dinyatakannya apa yang ada
di dasar hatinya yang paling dalam :
“Tidak ada dendam kami terhadap pegawai dan amtenar
bahkan terhadap Belanda pribadi, kami hanya dendam terhadap penjajah Belanda.” Jadi, kalau kita mau menjawab “Apa tujuan yang hendak dicapai dengan perang
ini?”, kiranya cukup kompeten jawaban yang diberikan Pejuang Tua itu, yaitu
mengusir penjajah dan merdeka bagi Minangkabau khususnya Indonesia umumnya. Sebagai penutup kami kutipkan di sini sajak Chairil Anwar dengan judul
“Kerawang Bekasi”, tidak seluruh, tapi cukup sebagian saja yang sangat mengena
dalam mengenang peristiwa 1 Januari 1927.
Kami yang
kini terbaring antara Kerawang Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat
senjata lagi
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegap
hati
Kami sudah
beri kami punyai jiwa
Kerja belum
selesai, belum bisa memberi
arti 4-5 ribu jiwa
Kami hanya
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah
kepunyaanmu
Kaulah lagi
yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Kami tidak
lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata
Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada
rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah
kami
Teruskan
teruskanlah perjuangan kami
Kenang-kenangkanlah
kami
Yang tinggal
tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami
yang terbaring antara Kerawang – Bekasi
***
Jadi tidaklah perlu Rakyat
Silungkang dan sekitarnya malu mengenang peristiwa keruh 1 Januari 1927. Yang
memang murni digerakkan oleh rakyatnya. Tanpa dipengaruhi oleh siapapun atau
aliran yang kini paling tidak disukai di Indonesia yang punya Asas Pancasila. Walaupun secara lokal Perang Rakyat Silungkang 1 Januari 1927 gagal tetapi
di tingkat nasional tidaklah demikian. Dia adalah salah satu mata rantai
perjuangan Indonesia serta seluruh rakyatnya dalam mencapai kemerdekaannya.
DAFTAR BUKU
BACAAN
- Sejarah Nasional Indonesia jilid V, Edisi IV tahun 1984; Karangan Marwati Juned Pusponegoro dan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, cetakan Balai Pustaka.
- Brosur terbitan Jawatan Penerangan Sumatera Tengah.
- Saham H.O.S Tjokroaminoto Dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme; Karangan Drs. Masjhur Amin; Penerbit Nur Cahaya, cetakan ke II tahun 1983.
- Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia 1926 – 1948 – 1965. Terbitan Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) cetakan II tahun 1988.
- Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926 – 1927; Penerbit Mutiara tahun 1985. Karangan A.M Nasution.
- Pergerakan Rakyat Silungkang Dalam Pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia; disusun oleh H. Kamaruzaman Cs. 1984 (belum diterbitkan).