Sabtu, 01 Oktober 2016

ANALISA AKAR PERMASALAHAN TERJADINYA PERTUMPAHAN DARAH DI BUMI SUMATERA BARAT (Perang Rakyat Silungkang)



1.      Latar Belakang
Peristiwa heroik ini telah berlalu 89 tahun yang silam. Suatu masa panjang yang tidak memungkinkan kita bisa mengingatnya dengan sepenuh kejelasan. Hampir semua pelakunya telah berpulang ke hadirat Illahi dan begitu pula saksi-saksi mata utamanya. Yang kini tersisa hanyalah orang-orang tua yang pada saat peristiwa itu meletus masih sangat belia dan tidak terlibat langsung serta melihatnya secara menyeluruh. Catatan-catatan tertulis yang bisa dijadikan bukti otentik tentang persiapan jalannya, akibat dari peperangan itu boleh dikatakan tidak ada sama sekali.
Satu-satunya yang lengkap mengenai peristiwa ini adalah Keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan dan mengangkat sebagian dari pejuang-pejuang itu sebagai pahlawan Pejuang Perintis Kemerdekaan. Didirikan pula sebuah monumen yang diberi nama Tugu Perintis Kemerdekaan yang diresmikan tahun 1947 oleh Wakil Presiden pada waktu itu Drs. Moh. Hatta sebagai tanda bahwa di wilayah Silungkang dan sekitarnya pernah terjadi perjuangan heroik. Perjuangan heroik ini diakui oleh negara sebagai salah satu mata rantai perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.
Karenanya cerita tentang PRS 1927 kita miliki sekarang ini hanyalah berupa sisa-sisa cerita dari mulut ke mulut yang disampaikan oleh para pelaku dan saksi-saksi mata kepada anak cucunya. Cerita-cerita ini selama ini sudah dianggap sebagai sumber paling competen mengenai PRS 1927 ini. Tak pernah dicoba menelaah cerita-cerita itu, membandingkan kebenarannya. Hingga bisa ditarik sebuah kesimpulan yang benar dan tepat serta seragam tentang :

 Siapa yang menggerakkan perang ini. . . ?
Apa sebab-sebab terjadi peperangan ini . . ?
Apa tujuan yang akan dicapai dengan perang ini . . ?

1.1  Terlupakan, Melupakan, atau Benar-Benar Lupa
1.1.1        Terlupa
Wajar kalau terlupa, apalagi peristiwa ini telah lama berlalu. Telah banyak peristiwa-peristiwa yang dilewati. Begitu pula nasib yang menimpa Perang Rakyat Silungkang 1927. Telah terlupa bagaimana tegar para pejuang pada malam gelap itu berangsur bergerak menuju medan perang dengan semangat menggebu dan menggenggap tekad, berjuang di jalan Illahi demi esok yang lebih cerah. Terlupa pada motivasi serta tujuan besar yang ingin dicapai oleh para pejuang itu. Tujuan yang telah sanggup menggerakkan seluruh rakyat Silungkang dan sekitarnya rela berkorban harta benda bahkan nyawa. Orang-orang terlupa pada Asisten Residen Kees dan seorang Indonesia yang lebih Belanda dari Belanda, yaitu Demang Rusad yang keduanya waktu itu bertugas di Sawahlunto. Tuan Demang inilah dengan cemeti di tangan dan makian keji menyambut para pejuang yang tertangkap ketika dimasukkan ke penjara Sawahlunto. Setiap lecutan cemeti ke tubuh ribuan pejuang-pejuang itu disertai makian yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berarti “Mampuslah kau semua komunis”. . .
Terlupa orang bahwa apa yang diucapkan oleh Demang Rusad itu adalah sebuah kebohongan besar. Tiap orang pasti tahu bahwa setiap kebohongan seperti yang dilontarkan oleh Demang ini, apabila diulangi berulang-ulang, lama kelamaan akan diterima oleh pendengarnya dan masyarakat sebagai suatu kebenaran. Demang Rusad pun tahu akan hal ini karena dia sangat rajin melemparkan issue itu. Selain pembohong besar, Demang Rusad pandai pula mengambil keuntungan-keuntungan dari kesempitan orang lain, terutama untuk menjaga citranya selamat sampai hari tuanya. Dengan melontarkan issue komunis kepada para pejuang PRS 1927 dia langsung memetik keuntungan untuk masa yang panjang sampai akhir hayatnya. Keuntungan-keuntungan itu ialah :
  1. Pada tahun 1927 itu ia dapat menunjukkan sikap yang loyal dan sekaligus sebagai pembongkar latar belakang terjadinya PRS kepada majikannya, Belanda.
  2. Dia menghilangkan kenyataan yang berada di masyarakat yaitu ketimpangan sosial-ekonomi-hukum antara si penjajah dan yang terjajah.
  3. Ketika Indonesia telah Merdeka dia dengan mudah mengelakan tuduhan sebagai penindas pejuang-pejuang pra kemerdekaan dan mengemukakan alasan bahwa yang ditindasnya di Sumatera Barat itu dahulu bukanlah para pejuang, tetapi kaum komunis yang di Sumatera Barat tidak pernah dapat tempat di hati masyarakat yang taat beragama ini, lebih-lebih masa sekarang.
Dengan tenang dia bisa menikmati singgasana Residen Kedua di Padang pasca kemerdekaan. Berbeda dengan rakyat yang ditindasnya dulu, para pejuang dan turunannya harus berjuang jatuh bangun demi mempertahankan citra diri. Karena perbuatan Demang Rusad inilah rakyat Silungkang merasa malu sekarang, karena di belakang perang Rakyat Silungkang diberi embel-embel sebagai yang diorganisasi bersama-sama dengan PKI. Issue itu harus dibantah dengan menyodorkan bukti-bukti yang layak oleh seluruh warga Silungkang.

1.1.2        Melupakan
Bagi rakyat yang terjajah tindak tanduknya harus selalu dijaga agar tidak menyalahi peraturan-peraturan yang dibuat oleh si penjajah. Kalau berani melanggarkan berarti menerima satu perlakuan yang kejam dari si penjajah dan di Indonesia penjajah itu adalah Pemerintah Kolonial Belanda. Cara apapun ditempuh oleh penjajah, intimidasi, teror dan paksaan-paksaan agar si terjajah tunduk dan tidak bisa melawan. Rakyat Indonesia ratusan tahun lamanya ditindas seperti ini termasuk juga rakyat Silungkang. Hal ini menyebabkan rasa takut yang berlebih-lebihan hingga menimbulkan suatu anggapan bahwa berurusan dengan pejabat hukum sudah merupakan aib dan tabu. Lebih-lebih apabila mendapat hukuman badan langsung saja dicap sebagai penjahat.
Tak peduli apapun perbuatan yang dilakukannya, baik karena berbuat untuk diri sendiri untuk orang banyak atau untuk satu perjuangan kemerdekaan. Cap ini diturunkan pula pada anak cucunya dan selalu saja dibumbui dengan cerita-cerita negatif tentang orang itu. Bagi masyarakat seperti Silungkang hal itu sangat mengerikan dan menjadikan malu berkepanjangan. Ada sebuah cerita lucu bagaimana masih banyaknya orang Indonesia yang setelah masa penyerahan kedaulatan dan merdekapun yang tidak mengerti artinya merdeka itu dan tentu lebih-lebih lagi pra tahun 1927. Pada suatu rapat raksasa yang biasa diadakan tiap-tiap 17 Agustus di depan Istana Merdeka massa telah berkumpul. Selain yang dikerahkan tentu banyak pula yang datang atas kemauannya sendiri, seperti biasanya puncak acaranya pidato Bung Karno. Di antaranya terselip seorang tua yang berasal dari pinggiran kota Jakarta.
Betapa hebatnya pidato Bung Karno tak sedikitpun orang tua itu tertarik dan mengacuhkannya. Sehingga menarik perhatian seorang pemuda yang berdiri di dekatnya. Karena tertarik akhirnya pemuda mencoba menanyain sebab-sebab tidak tertarik sama sekali pada pidato Bung Karno itu. 
Bertanya pemuda itu : “Bapak, apakah Bapak tidak tertarik pada pidato Bung Karno ini, Pak !”
 Jawab orang itu : “Dari tadi saya memperhatikan pidato itu, tapi saya heran.”
 “Apa yang Bapak herankan ?” tanya pemuda itu.
 “Bung Karno dari tadi pidato tentang kemerdekaan melulu, coba anak tanyakan pada beliau itu, kapan kita ini merdekanya.”
 Bukan dimaksud lelucon ini untuk menyebabkan tertawa tapi untuk menunjukkan apa yang tersirat dari lelucon ini bahwa setelah berlalu sekian tahun kemerdekaan itu masih banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti yang dimaksud dengan merdeka itu sebenarnya. Sudah pasti pada tahun 1927 itu di Silungkang lebih banyak lagi yang tidak mengerti. Apa gunanya berjuang untuk merdeka jika perjuangan hanya menimbulkan/menyebabkan kesengsaraan. Tanpa kemerdekaan toh penghidupan telah berjalan sesuai dengan garisnya, garis yang telah ditentukan Tuhan.
 Jadi dari uraian di atas bisa dilihat mengapa rakyat Silungkang itu berusaha melupakan peristiwa tragis dari kekalahan perang 1927, ialah karena;

1.      Takut
Ketika peristiwa 1927 mengalami kegagalan total. Bencana yang tadinya tidak pernah diperhitungkan menjadi kenyataan yang sangat pahit. Penangkapan, penganiayaan, penistaan mencapai puncaknya hingga untuk mengingatnya saja orang sudah tidak mampu. Traumanya membekas sangat dalam. Hingga tidak pernah kita mendengar di sekolah di Silungkang, baik Silungkang belum merdeka dan sesudah merdeka. Melupakan itulah satu-satunya diusahakan.

2.      Malu
Anggapan masyarakat bahwa orang yang pernah terhukum badan sebagai penjahat menyebabkan rasa malu terutama bagi para pejabat pemerintahan pada masa 1927. Tak ada alasan apapun untuk memanfaatkan mereka itu, sekalipun jelas-jelas apa yang mereka lakukan adalah satu perjuangan di jalan Illahi dan yang diperjuangkan adalah hari esok yang lebih baik. Mereka (pejabat-pejabat itu) mencoba melupakan akibat yang jelek dari perang yang gagal itu. Pejabat-pejabat takut mereka-mereka itu mengulangi lagi perbuatan-perbuatan mereka yang menurut pandangan pejabat-pejabat itu memalukan dan kalau dipakai istilah sekarang sebagai penganggu stabilitas kampung halaman. Pejabat-pejabat itu tak berani mengusir mereka secara kasar tetapi diusahakan secara halus dengan antara lain membebaskan dari rodi/uang serayo asal mereka mau pergi merantau. Bagi bekas para pejuang yang telah kembali dari pembuangan, uang serayo/rodi merupakan tambahan penghinaan bagi mereka, sebab hal itulah salah satu yang diperjuangkan lenyapnya sehingga terpaksa menjalani hukuman. Bagi satu masyarakat seperti Silungkang yang waktu itu masih sangat terikat pada kaumnya pergi keluar wilayahnya sendiri bukanlah hal yang enak. Lebih-lebih pada permulaan tahun 1930 itu momoh malaise sedang mengancam perekonomian seluruh dunia dan tentunya Indonesia yang pada waktu itu masih disebut Hindia Belanda tak ketinggalan. Hingga selain bagi yang terlempar dari kampung halaman berjuang memperbaiki kehidupan ekonominya merupakan hal yang sangat berat, bagi anak isterinya lebih berat lagi. Banyak yang akhirnya terpaksa pulang kampung dengan beban mental yang lebih berat karena kenyataan bahwa mereka-mereka itu tak dapat meraih apa yang diharapkannya.

3.      Tidak Mengerti
Inilah akibat yang paling fatal dari segala macam usaha Rakyat Silungkang dalam usahanya untuk tidak teringat pada Perang Rakyat Silungkang 1927. Ketidak mengertian bahwa dengan mencetuskan Perang Rakyat Silungkang 1927, rakyat telah menuliskan sejarah dan masuk dalam deretan para pejuang-pejuang yang mencoba merampas kembali kemerdekaannya dari penjajah Belanda yang telah bercokol ratusan tahun lamanya. Tidak mengerti bahwa pejuang-pejuang itu hanya berumur pendek dan sejarah itu tak bisa berakhir sekalipun rakyat yang melahirkan pejuang-pejuang itu telah punah seluruhnya. Setiap kali ada orang-orang yang akan mengkaji kembali dan memberikan atau menambahkan versi baru pada sejarah itu. Tiap kali ditambahkannya kebenaran-kebenaran yang pada waktu lalu belum terungkap. Karena ketidak mengertian itu maka bukti-bukti otentik tentang perjuangan besar rakyat Silungkang telah hilang begitu saja. Sehingga segala issue negatif yang timbul sesudah perang itu tidak bisa disangkal dengan persiapan bukti otentik. Selalu timbul keraguan tentang kebenaran dari perjuangan yang telah meminta nyawa, harta, benda dan air mata. Kesalahan ini tidak hanya dibuat oleh Rakyat Silungkang saja tetapi juga oleh suku-suku di Indonesia lainnya.

1.1.3        Lupa
Dimuka kita telah menandai tiga persoalan yang oleh RS lupa dibahas dan disoroti secara layak selama ini. Belum pernah ditarik kesimpulan yang seragam tentang ketiga persoalan ini. Juga belum pernah sumber tentang PRS yang ada di Silungkang dan yang telah dianggap sebagai kebenaran dibandingkan dengan sumber-sumber otentik yang memang telah terbaku kebenarannya. Kita catat kembali ketiga persoalan itu.
a. Siapa yang menggerakan perang ini ?
b. Apa sebab terjadi perang ini ?
c. Apa tujuan yang akan dicapai oleh perang ini ?


1.2  Siapa Dalang Otak Peperangan Ini ???
Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas kita harus kembali ke tahun 1908 yang oleh bangsa Indonesia dicatat sebagai permulaan bangkitnya kesadaran Bangsa Indonesia tentang martabatnya sebagai manusia dan bangsa. Peristiwa ditandai dengan didirikannya organisasi Budi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 oleh R. Soetomo, dan kawan-kawan di Jakarta. Tujuan dari organisasi ini tidak tegas-tegas digariskan tetapi terasa sekali dititik beratkan pada peningkatan pendidikan terutama di Jawa dan Madura. Boedi Oetomo berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka budi pekertinya akan bertambah baik pula dan dengan demikian kesadarannya sebagai manusia dan bangsa akan bertambah tinggi pula.
Kehadiran Boedi Oetomo tahun 1908 itu sebenarnya telah didahului oleh sebuah organisasi lainnya yang terutama bergerak di bidang perdagangan, yaitu Sarekat Dagang Islam tahun 1905 di Solo oleh Bapak H. Samanhudi. Pada tahun 1911 organisasi Dagang Islam ini dilebur menjadi Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto dan cendikiawan Islam. Berdirinya Sarekat Islam ini adalah satu isyarat bagi Muslim Indonesia bahwa saatnya telah tiba untuk tampil kepermukaannya sebagai satu kekuatan sosial, ekonomi dan politik untuk melawan sistem jajah dan terjajah. Ditinjau dari anggaran dasarnya Sarekat Islam ini bukanlah organisasi yang mempunyai tujuan politik dan ketata-negaraan tapi dalam sepak terjangnya di masyarakat jelas jangkauan politik dan ketata negaraannya ada.
Dalam periode pertamnya SI ini mencanangkan tindakan-tindakan gagah berani dari sistem jajah-terjajah. Hal ini menyebabkan para anggotanya selalu siap bertempur habis-habisan demi membela nusa, bangsa serta agama dari segala penghinaan dan segala kecurangan. Dengan manuver demikian itu serta ditambah lagi dengan sifat terbukanya organisasi SI ini dengan mau menerima anggota dari seluruh lapisan masyarakat jadilah organisasi ini sebagai organisasi massa yang pada Kongres Nasional 1916 di Bandung telah punya 80 (delapan puluh) cabang yang tersebar di seluruh Nusantara dengan anggota aktif + 400.000,- (empat ratus ribu orang). Karena dalam waktu yang singkat SI telah menjadi satu organisasi yang besar dan tersebar luas di Indonesia maka kendala yang dihadapi Serikat Islam menjadi besar pula. Kendala-kendala itu dapat kita bagi dua menurut dari mana asal datangnya.

1.2.1        Kendala yang Datang dari Luar Organisasi
Kendala-kendala yang datang dari luar organisasi itu sebenarnya sangat banyak, tapi di sini hanya akan diungkapkan yang jelas saja dimana setiap orang bisa mengetahuinya, dan merasakannya. Yaitu yang datang dari Pemerintahan Jajahan Belanda yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Indenburg ini mensinyalir di dalam Sarekat Islam  Terdapat unsur-unsur revolusioner. Sebelum ia mengambil putusan politik untuk Sarekat Islam dia menerima nasehat pada para residen lebih dahulu. Hasilnya ialah :
  1. Sarekat Islam tidak boleh berupa organisasi yang punya pengurus besar.
  2. Sarekat Islam hanya boleh berdiri secara lokal.
  3. Untuk tiap-tiap cabang diharuskan mempunyai badan hukum sendiri yang terlepas satu dengan yang lainnya.
Sebagai akibat dari peraturan itu ialah :
  1. Hubungan hukum antara Pengurus Besar dan cabangnya serta antar cabang boleh dibilang tidak ada sama sekali. Tiap-tiap cabang punya kedaulatan sendiri-sendiri. Walaupun secara organisasi hubungan itu ada tapi dengan peralatan serta pengalaman mengelola organisasi yang dipunyai Indonesia saat itu sangat minimum maka kontrol oleh Pengurus Besar terhadap cabang-cabang itu sangat kurang dan tidak layak. Karenanya banyak tindakan-tindakan pimpinan-pimpinan lokal tidak dipertanggung jawabkan ke Pengurus Besar. Bahkan banyak instruksi-instruksi yang tidak terlaksana karena kendala-kendala setempat.
  2. Pengaruh pimpinan-pimpinan lokal itu terhadap organisasi sangat dominan. Instruksi dari pusat sering diabaikan, sedangkan perintah pimpinan lokal walaupun bertentangan dengan instruksi PB dijalankan secara sungguh-sungguh.
  3. Sebagai akibat dari kedua hal di atas maka terhadap penerimaan anggota pun kurang terseleksi. Lebih-lebih di mana kondisi organisasi pada waktu itu memungkinkan seseorang menjadi anggota beberapa organisasi sekaligus. Hingga banyak oknum yang punya maksud-maksud tertentu diterima menjadi anggota SI salah satu contohnya ialah apa yang terjadi di cabang SI Semarang ketika dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Sebenarnya kedua oknum tersebut adalah Kader H.O.S Tjokroaminoto, tetapi setelah di Semarang keduanya masuk Indische Social Democratische Vereniging (I.S.D.V) suatu organisasi yang didirikan oleh orang-orang Belanda di Indonesia dan berhaluan Marxis. Di kemudian hari kedua-oknum ini menjadi musuh SI dan menyebabkan perpecahan di SI
  4. Peraturan yang dikeluarkan oleh Penjajah mengandung bibit-bibit perpecahan yang dikemudian menjadi kenyataan, sesuai dengan harapan si pembuat undang-undang. Karenanya perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya melemah pula.

1.2.2        Kendala Dari Dalam Organisasi
Sesudah Kongres SI 1916 dalam tubuh organisasi ini terjadi kristalisasi. Mereka telah menentukan sikap dan cara-cara yang pasti dalam menempuh perjuangan untuk mencapai cita-citanya. Dan G. Kachi mengelompokkan mereka menjadi tiga.
  1. Golongan Fanatik Islam
Kelompok ini mencoba menerapkan kaidah-kaidah Islam sejauh yang dimungkinkan dalam perjuangan untuk mencapai cita-citanya.
  1. Golongan Moderat
Kelompok ini tidak berkeberatan bekerja sama dengan Pemerintahan jajahan sebagai taktik untuk mencapai cita-cita perjuangannya.
  1. Golongan Keras
Sikap frontal terhadap penjajah. Tapi disamping itu pemimpinnya banyak menyerap teori-teori marxis sebagai teori perjuangan untuk mencapai cita-citanya (sama rasa-sama rata).

 Pada periode permulaan walaupun ada perbedaan pendapat antara kelompok-kelompok itu, belumlah mengakibatkan perpecahan. Ini terbukti pada saat Islam dan Indonesia mendapatkan perlakukan tidak adil mereka serentak bangkit dengan sikap sama menghadapinya. Ini juga berkat tali kerohanian Islam yang masih kuat. Tetapi sesudah periode 1917 – 1920 group keras yang dipimpin oleh Semaun cs semakin tenggelam dalam ajaran Marxis. Semaun cs ini selain menjadi Pengurus SI Semarang menjadi juga pimpinan PKI. Perpecahan naik ke permukaan dan terlihat sebagai perbedaan ideologi. Akhirnya terjadi dua pool yang berbeda ideologi. Pool yang satu dipimpin oleh H. Agus Salim cs dan yang satu dipimpin oleh Semaun cs. Yang dipimpin oleh H. Agus Salim berorientasi pada Islam Nasional dan yang dipimpin oleh Semaun berfaham Marxis.
Dengan cara apapun kedua pool itu tak bisa disatukan sebagai akibatnya timbul gagasan organisasi SI Untuk menegakkan disiplin. Dianut prinsip setiap anggota SI tidak dibolehkan merangkap keanggotannya dengan organisasi lain. Dalam kongres SI 6 April 1920 di Yogyakarta gagasan itu dituangkan menjadi peraturan. Betapapun gigihnya golongan Semaun cs untuk menolak gagasan itu tak berhasil sama sekali dan peraturan itu telah jadi kenyataan.  Semaun adalah Kader Sarekat Islam yang digembleng langsung oleh H.O.S Tjokroaminoto. Pada tahun 1916 dia dari Surabaya dipindahkan ke Semarang untuk memperkuat cabang ini. Tugasnya di Semarang dilaksanakannya dengan baik. Hingga dalam waktu yang singkat dia dapat melipat gandakan anggotanya.Kecakapan di bidang organisasi terlihat oleh ISDV yang pada waktu itu dipercaturan pergerakan Nasional belum mendapat tempat dan sedang giat berusaha menginfiltrasi SI untuk mendapatkan massa. ISDV berhasil merekrut Semaun, bahkan tidak hanya sebagai anggota tetapi sebagai Pengurus. Sebenarnya ISDV (singkatan dari Indische Social Democratische Vereniging) adalah embrio dari Partai Komunis Indonesia. Ini ternyata dalam Kongresnya yang ke VII tanggal 23 Mei 1920 namanya diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan Semaun menjadi ketuanya. Pada Kongres istimewa tanggal 24 Desember 1920 keputusan Kongres ke VII dipertegas kembali dengan merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia.
Diputuskan pula untuk memasuki Komintern dan berapresiasi dengan Komintern Asia. Sudah tentu dengan keputusan itu partai ini menjadi partai yang kiblatnya tidak nasionalis lagi tetapi “kiblatnya” ke Moskow sebagai Pusat Komunis sedunia.. Sudah tentu semua sepak terjangnya serta strategi perjuangannya disesuaikan dan tunduk pada perintah Moskow. Ketika SI dalam Kongresnya tahun 1921 mengeluarkan larangan bagi anggotanya untuk mempunyai keanggotaan rangkap dengan organisasi lain, kedudukan Semaun di masyarakat sangat mapan dan punya karir yang kuat baik di dalam ataupun di luar SI di dalam SI dia adalah Komisaris Cabang SI Semarang dan di luar SI dia adalah Ketua Partai Komunis Indonesia Pusat. Dalam kondisi yang demikian itulah Semaun cs dikeluarkan dari SI Tetapi Semaun tidak tinggal diam.  Segera dia mengumpulkan cabang-cabang SI Yang bersimpati kepadanya hingga pada tahun 1923 dia telah dapat mendirikan SI Merah untuk menandingi SI asli yang disebut juga dengan SI putih. Di mana ada cabang SI putih di situ didirikannya pula SI Merah. Sehingga keadaan pada tahun-tahun itu keadaannya berimbang. Ketika perkembangannya bertambah pesat, maka pada tahun 1924 SI Merah ini diubah namanya menjadi Serikat Rakyat. Di samping itu didirikan pula cabang PKI di mana ada cabang Serikat Rakyat. Maksud dari mendirikan cabang-cabang itu merupakan alat kontrol bagi segala kegiatan Serikat Rakyat serta juga merupakan persiapan untuk konsolidasi organisasi di masa mendatang.
            Akhirnya ketika PKI sudah merasa mantap maka pada Kongresnya di Kota Gede Yogyakarta bulan Desember 1924 Serikat Rakyat dilebur masuk PKI. Kami memberi garis tebal pada peleburan Serikat Rakyat di dalam tahun 1924 bulan Desember ini karena mulai tanggal itu seluruh Serikat Rakyat mulai dari pusat dengan pengurus besarnya serta cabang – anak cabang – rantingnya sudah tidak punya legalitas lagi dan tidak ada lagi. Ini penting sekali terutama nanti ketika kita membicarakan legalitas dari S.R. Silungkang Sumatera Barat dikenal juga dengan nama Minangkabau. Walaupun Minangkabau ini mulanya adalah sebuah kerajaan, namun tatanan masyarakat diatur secara demokrasi dan komunikasi dua arah merupakan tradisi. Semua persoalan yang menyangkut apapun selalu saja diputuskan secara musyawarah oleh semua pihak yang terkait dengan persoalan itu. Keputusan yang diambil mengikat semua pihak baik yang setuju ataupun tidak setuju dengan keputusan itu.
Unsur agama Islam masuk dalam tatanan masyarakat Minangkabau/Sumatera Barat secara dominan seusai Perang Padri, dan dengan itu pula Kerajaan Minangkabau kehilangan legalitasnya.13) Jadi disini kita melihat bahwa secara regional kesadaran sebagai manusia/bangsa di Minangkabau sudah ada bahkan berakar ke segala lapisan masyarakat. Tidaklah mengherankan jika gema kebangkitan berbangsa ke seluruh Nusantara oleh Budi Utomo tahun 1905 dicanangkan di Jakarta disambut dengan gegap gempita di Sumatera Barat. Bahkan di daerah pedalaman seperti di Silungkang dan sekitarnya mendapat pengikut yang gigih, berani dan tak kenal menyerah.
Silungkang adalah sebuah desa yang alamnya tidak ramah dan tidak menjanjikan penghidupan santai dari pertanian. Walaupun desa ini dibelah dua oleh sebuah sungai tetapi sungai itu tak bisa dimanfaatkan secara maksimal, selain karena dihulunya bukitnya sudah gundul yang sering menyebabkan banjir, juga di kedua sisi sungai tidak cukup tersedia dataran. Dataran yang sedikit di tepi sungai itu tidak memadai jangankan untuk pertanian, untuk pemukiman saja tidak cukup hingga banyak warga yang mendirikan rumahnya di perbukitan. Hal yang demikian itu menyebabkan warga memilih penghidupan dari perdagangan dan pertenunan.
Dengan memilih penghidupan yang demikian maka wataknya pun mengikuti pola penghidupannya. Ramah, sidik-midik, hemat, tekad, percaya diri menjadi watak umum warga Silungkang sekalipun hanya pedagang makanan. Tidak sidik dan midik pedagang tak akan mampu menilai dan melihat barang apa yang laku pada masa itu. Hemat harus dipakai agar modal tidak habis bahkan bertambah. Tekun, percaya diri harus dipunyai oleh siapa pun yang ingin berhasil.  Karena itu warga Silungkang untuk mengambil suatu putusan atau pilihan, dilalui proses pemikiran yang mendalam dihitung untung ruginya dari segala segi dan pilihan atau putusan yang ditetapkan itu, apapun akibatnya akan dihadapinya tanpa penyesalan. Harus diakui bahwa dalam mengulas watak warga Silungkang ini banyak kekurangannya tapi yang ingin ditonjolkan di sini dalam mengenang PRS 1927 warga Silungkang telah menunjukkan sifat tegarnya tidak mudah terpengaruh dan tetapi pada pilihannya walaupun tahu bahwa itu akan beresiko besar. Begitu juga ketika warga Silungkang memilih Serikat Islam sebagai wadah perjuangan untuk turut berjuang bersama seluruh bangsa Indonesia, dalam satu perjuangan besar, mencapai Indonesia merdeka.
            Pilihan ini bukan karena ingin ikutan-ikutan atau karena terpesona oleh tindak-tanduk organisasi SI itu. Telah dilalui pemikiran yang mendalam dan pemantauan cermat terhadap organisasi itu. Dipantau asas serta tujuan serta cara-cara memperjuangkan tujuan itu. Bahkan para pendirinya menyempatkan diri untuk melakukan lobbying ke Jawa untuk keperluan itu. Kemudian ditariklah kesimpulan di mana SI dianggap cocok dengan apresiasi warga Silungkang dalam menempuh perjuangan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1915 didirikanlah SI di Silungkang oleh Sulaiman Labay cs. Sebelum itu Sarekat Dagang Islam telah ada juga di Silungkang. Secara organisasi SDI pada tahun 1911 di Jawa dilebur menjadi SI, tapi ini tak langsung dikerjakan oleh warga di Silungkang. Empat tahun kemudian baru terlaksana. Lagi ini suatu bukti berdirinya SI di Silungkang bukan tanpa pemikiran dan pemantauan. Empat tahun cukup lama. Kehadiran SI di Silungkang ini tidak langsung mendapat simpati dari warganya. SI harus membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi yang betul-betul berjuang demi kepentingan orang banyak, tanpa pembuktian jangan harap mendapat simpati.
            Kesempatan ini diperoleh Sulaiman Labay cs pada tahun 1918. ketika itu terjadi kekurangan beras di Silungkang. Sulaiman Labay cs menyita dua gerbong beras milik Belanda dan langsung membagi-bagikannya kepada seluruh warga. Pembagian itu merata tanpa pilih-pilih. Semua yang datang ke tempat pembagian mendapat bagiannya. Sejak peristiwa itu SI mendapat tempat di hati masyarakat Silungkang dan kharisma Sulaiman Labay sebagai pimpinannya menembus batas desanya dan dianggap sebagai pimpinan yang pantas jadi panutan. Dengan kondisi dan situasi yang demikian Sulaiman Labay mulai menggembleng kader-kader muda SI. Pendidikan kader ini tidak hanya mengenai politik dan segala aspek yang terkait untuk mencapai Indonesia merdeka, tapi juga mengenai agama. Dengan gemblengan ini diubah cara memandang kehadiran Belanda di persada Tanah Air ini. Kalau tadinya Belanda harus dianggap sebagai yang dipertuan dan harus dipatuhi segala perintahnya dan dipenuhi segala keinginannya, kini harus dianggap sebagai musuh dan penghisap darah rakyat yang harus segera dienyahkan dari tanah air dengan segala cara yagn diridhoi Tuhan sesegera mungkin.
Dipompakan keberanian dan ditingkatkan percaya diri. Banyak kader-kader yang kurang militant dan mendapat pengaruh dari luar, tapi tak sedikit pula kader-kader yang menjadi sangat militant. Lebih-lebih kader yang hanya menerima pengemblengan dari Sulaiman Labay dengan secara langsung. Kader-kader ini tidak menganggap Sulaiman Labay sebagai pimpinan SI saja, tapi juga sebagai bapak – kawan – dan orang tua yang layak menerima penghormatan dan tumpuan segala harapan di masa datang. Kader ini dalam segala gerak perjuangan selalu berada paling depan, dan selalu saja menjadi penumpas keraguan-raguan bila datang dalam hati anggota-anggota SI lainnya. Jika pada mulanya rasa ketidak-sukaan pada Belanda hanya ada dihati perorangan saja maka kini rasa kebencian Belanda mengkristal sebagai kebencian seluruh lapisan masyarakat terhadap penjajah Belanda dengan segala sistem pemerintahannya. Kemerdekaan menjadi semacam ilusi yang harus diperoleh dengan jalan apapun juga selekasnya. Salah satu sebab Sulaiman Labay mau bergabung dengan SI ialah karena sifat organisasi yang otonom. Hingga dia memiliki lebih banyak kebebasan bergerak. Banyak ide-idenya tersalur dalam organisasi ini.
            Salah satu contoh yang paling komplit ialah : penyitaan dua gerbong beras milik Belanda di stasiun Silungkang. Dia tidak harus minta izin lebih dahulu kepada induk organisasi, baik yang di Padang maupun di Jawa. Bahkan tidak harus mempertanggungjawabkannya kepada induk organisasinya, barangkali melaporkannya saja tidak. Ketika ia ditangkap Belanda karena perbuatan itu ia pun tidak menunjuk siapapun yang bertanggung jawab kecuali dirinya sendiri. Sifat-sifat otonom dari organisasi oleh Pengurus SI dipertahankan terus walaupun terjadi perpecahan dalam SI. Walaupun SI Silungkang bergabung dengan SI Merah, dimana garis organisasi diatur dari pusat, Silungkang tidak melakukannya. Ini terbukti ketika diputuskan bahwa SI Merah diubah namanya menjadi Sarekat Rakyat di mana ditentukan pula bahwa di setiap cabang SR harus didirikan pula cabang PKI maka di wilayah Silungkang dan sekitarnya hal itu tidak dilakukan. Bahkan ketika Sarekat Rakyat ini dilebur masuk PKI, Silungkang tetap memakai nama Sarekat Rakyat untuk organisasi.
Di Jawa hal itu tak ada lagi, yang ada hanya PKI dengan organisasi-organisasi yang tidak bersifat keagamaan. Di sini tampak bahwa organisasi SR di Silungkang hanya luarnya saja yang bergabung dengan SR lain, tetapi secara organisasi tidak melakukan instruksi pusatnya bahwa seolah-olah lepas sama sekali. Dalam memorinya Bung Hatta menulis, bahwa Semaun pernah bercerita kepada beliau bahwa cita-cita untuk memberontak terhadap Belanda diputuskan konferensi PKI Desember 1925 di Prambanan. Rencana akan dilaksanakan pada tahun 1926 dan itu disetujui oleh semua pengikut Kongres, kecuali Tan Malaka (kehadiran Tan Malaka pada Kongres itu oleh Bung Hatta diragukan karena waktu itu ia berada di Filipina). Pertemuan Hatta – Semaun ini terjadi di Den Haag negeri Belanda. Untuk mendapatkan izin dari Moskow maka diutuslah Alimin/Musso dan berangkat dari Indonesia bulan Maret 1926.  Dengan adanya keputusan itu maka suhu politik di Indonesia memanas. Kegiatan luar biasa terjadi di seluruh Indonesia termasuk juga di Silungkang di mana SR nya secara yuridis tidak berfungsi lagi setelah di Kongres tahun 1924 dilebur masuk PKI, Sedangkan seperti kita lihat hal itu tak pernah dilakukan SR Silungkang. Dilakukan diskusi antar pimpinan SR di Silungkang dan wilayah sekitar untuk mencari rumusan yang tepat bagaimana cara perlawanan yang diadakan.
            Disini nampak bahwa intruksi pemberontakan yang diterima SR Silungkang dan sekitarnya tidaklah lengkap. Ketidak jelasan instrukSi ini menyangkut beberapa sebab. Di antaranya ialah : ketidak jelasan status SR Silungkang dan sekitarnya. Dan yang lain ialah : Konsep yang disusun oleh pimpinan PKI pusat untuk berontak tidak lengkap, tidak dilandasi suatu analisa pragmatis mengenai situasi dan kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat kala itu. Konsep itu disusun dengan tergesa-gesa serta penuh agitasi. Karena situasi yang demikian Belanda dan polisi rahasianya tidak tinggal diam. Bocornya rahasia pemberontakan ini bukanlah satu hal yang tidak logis, maka bersamaan dengan itu dimulai pulalah penangkapan-penangkapan oleh Belanda terhadap tokoh-tokoh pimpinannya. Hasil diskusi SR Silungkang dan wilayah sekitarnya ialah mengadakan rapat gabungan. Rapat yang diselenggarakan di Padang Sibusuk itu dihadiri 20-30 orang. SR Silungkang mengutus tiga orang ialah (1) Sdr. Muchtar (Kutai), (2) Sdr. Thoib Onga dan (3) Sdr. H. Jalaludin. Rapat dipimpin oleh Sdr. Muchtar (Kutai) dan berjalan seru, karena sebagian utusan yang hadir beranggapan bahwa rapat ini tidak mempunyai wewenang untuk mendirikan badan organisasi di dalam organisasi. Tapi rapat dengan suara terbanyak memutuskan mendirikan Barisan Berani Mati atau nama lain ialah Serikat Hitam. Lagi-lagi SR Silungkang mengambil inisiatif sendiri dengan tidak menghiraukan hirarki partai atau organisasi.
Ketika keputusan rapat di Padang Sibusuk sekitar April 1926 dimintakan pengesahan pada instansi organisasi yang lebih tinggi itu ditolak. Sekali lagi SR Silungkang bertindak sendiir, yaitu dengan tidak membubarkan Sarikat Hitam tapi membinanya secara intensif. Sulaiman Labay sebagai pimpinan SR Silungkang seharusnya menyelesaikan persoalan ini hingga tuntas, karena ia tak bisa terlepas dari tanggung jawab. Lebih-lebih lagi bahwa Muchtar (Kutai) cs hadir dalam rapat April 1926 di Padang Sibusuk adalah sebagai wakil resmi dari SR Silungkang dari jadi pimpinan rapat. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Belanda di berbagai tempat di Indonesia akhirnya sampai juga di Silungkang, yaitu pada bulan Mei 1926. Pada bulan itu Sulaiman Labay cs ditangkap. Sarekat Rakyat kehilangan pimpinan-pimpinan seniornya, dan kader-kader muda didorong ke atas dan tampil kepermukaan. Mereka adalah kader-kader gemblengan lebih fanatik, lebih bersemangat dan lebih muda dengan pengalaman yang masih muda pula.
            Demikian juga yang terjadi di SR Silungkang. Kader-kader Sulaiman Labay cs tampil dan Thaib Onga yang dikenal sebagai pelopor pembentuk Sarekat Hitam, kini jadi Ketua Sarekat Rakyat Silungkang.21) Dengan sendirinya kehadiran Sarekat Hitam tak dipersoalkan lagi, malah berubah menjadi kekuatan inti di wilayah Silungkang dan sekitarnya. Seperti telah disinggung di atas bagi kader SR di Silungkang Sulaiman Labay bukan hanya pimpinan SR tetapi juga sebagai panutan, bapak dan saudara. Penangkapan terhadap beliau di mata mereka merupakan puncak ketidak adilan dan puncak tantangan bagi mereka dari penjajah Belanda. Hingga dalam perencanaan perang membebaskan tawanan politik dan Sulaiman Labay cs dari penjara Sawahlunto dimasukkan ke dalam perencanaan.  Tekad untuk memerangi Belanda makin terkristal dan persiapan ke arah itu makin disegerakan. Dari berbagai buku rujukan yang digunakan untuk menyusun karangan ini tidak ada satupun yang menceritakan dari mana asalnya biaya digunakan untuk mengadakan logistik yang sangat sederhana maka dana yang dimiliki SR Silungkang dan sekitarnya jelas tidak pernah menerima bantuan dari luar wilayah apalagi luar negeri. Jadi dana itu dikumpul dari masyarakat sekitarnya saja dan disumbangkan dengan keikhlasan yang tulus dan tidak minta dihargai atau mengharapkan balasannya. Semua diamalkan demi menunjang perang sahid semata-mata. Semua turut menyumbang sesuai dengan kemampuannya dan ini semua diterima dan dipergunakan dengan sebaiknya. Ini juga sebagai bukti bahwa Perang Rakyat Silungkang bukan hanya diingin oleh segelintir pimpinan-pimpinan SR Silungkang dan sekitarnya, tapi memang hasrat dari seluruh masyarakatnya dan orang-orang yang tidak menyetujui perang itu hanya beberapa orang saja. Seluruh masyarakat ingin mendapatkan hari esok yang lebih layak dan berkeadilan.
            Memang semua perjuangan lebih-lebih bila itu menyangkut kepentingan rakyat banyak, tanpa dukungan masyarakat jangan harap berhasil, tapi sebaliknya setiap perjuangan dari semula sudah menyimpan kemungkinan gagal walau pun didukung segenap lapisan masyarakat. Saat itu tekad seluruh lapisan masyarakat di Silungkang sudah bulat untuk memerangi Belanda walau apapun yang menjadi taruhannya dan begitu juga tekad pada pimpinan SR. Yang menjadi soal kini ialah mendapatkan informasi yang bisa dipercaya tentang hari D, sehingga perang yang akan dikobarkan, di Silungkang itu bisa dilakukan serentak dengan perang di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Untuk kepentingan itu diutuslah kurir-kurir ke Jawa, Padang dan Padang Panjang, sedang di wilayah Silungkang sendiri konsolidasi dilakukan terus menerus. Ketegasan tentang perang itu baru didiapat pada tanggal 21 Desember 1926 ketika H. Jalaludin kembali dari Padang dan informasi itu disampaikan di muka rapat yang dihadiri + 30 orang utusan SR Silungkang dan wilayah sekitarnya. Rapat itu bertempat di Ngalau Basurek Taratak Boncah yang memang sudah beberapa waktu dijadikan markas Perang Rakyat Silungkang. Informasi yang disampaikan antara lain :
  1. Pemberontakan di Jawa gagal total dan seluruh organisasi PKI/SR dibubarkan oleh Pemerintah Belanda.
  2. Mengingat situasi yang sedemikian itu maka Konferensi darurat di Koto Laweh berkeputusan tidak melakukan pemberontakan dan tidak menyetujui pemberontakan- pemberontakan SR cabang manapun juga di wilayah Minangkabau/Sumatera Barat. Ketentuan ini tentu juga berlaku bagi SR Silungkang dan wilayah sekitarnya.
 Situasi itu menghadapkan SR Silungkang dan sekitarnya kepada dua alternatif, yaitu :
  1. Melanjutkan rencana perang.
  2. Tidak melanjutkan rencana perang.
Jika alternatif pertama yang diambil berarti SR Silungkang harus berdiri sendiri menghadapi perang ini, baik secara moral maupun material. Apapun alasan yang dipakai oleh SR Silungkang dan sekitarnya untuk memerangi Belanda, SR wilayah Minangkabau lainnya tidak ikut terlibat. Sedang jika alternatif kedua yang diambil itu tidak sesuai dengan watak yang dimiliki orang Silungkang, seperti yang diuraikan di atas. Watak yang mandiri, tekun, serta percaya diri. Ketika menghadapi situasi yang demikian inilah watak asli dari rakyat Silungkang berperan mengambil keputusan. Putusan yang diambil, perang yang persiapannya sudah dianggap masak dilanjutkan dan sekaligus ditentukannya harinya, yaitu tanggal 1 Januari 1927 dan komando perang diserahkan kepada Sdr. Thaib Onga. Putusan ini diambil secara aklamasi. Suatu putusan yang gagah berani walaupun tahu bahwa putusan itu mengandung resiko yang besar.
Tidak dilanjutkan cerita ini dengan jalannya peperangan, karena itu bukan sasarannya. Tapi yang ingin diungkapkan dan dibuktikan di sini ialah siapa yang sebenarnya menggerakkan Perang Rakyat Silungkang 1927 ini. Apakah memang benar bahwa PKI ada turut andil dalam perang ini, baik moral, material atau ideal ? Tapi sebelum memberi jawaban yang tegas baiklah kita simpulkan uraian panjang lebar diatas.

2.1  Sumbangsih Secara Moral
Putusan Konferensi darurat SR di Koto Laweh dengan tegas mengatakan bahwa SR Sumatera Barat tidak menyetujui perang melawan Belanda pada waktu itu dikobarkan di Minangkabau/Sumatera Barat pada umumnya dan tentu juga di Silungkang dan sekitarnya khususnya. Jika SR Silungkang dan sekitarnya akan melanjutkan juga perang melawan Beladan, maka SR Pusat dari wilayah di luar Silungkang dan sekitarnya menyatakan diri tidak terikat. Baik secara organisasi atau secara perorangan pemberontakan yang akan dilakukan oleh SR Silungkang dan sekitarnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab SR Silungkang dan sekitarnya. Jadi jelas di sini bahwa Silungkang dan wilayah sekitarnya melakukan perang tahun 1927 murni atas kemauan sendiri tanpa ada campur tangan dari luar. Semua adalah tanggung jawab rakyat dan para pimpinannya.

2.2  Sumbangsih Secara Material (Logitic)
Sejak semula perang Rakyat Silungkang 1927 segala biayanya diusahakan secara swadaya. Tidak ada bantuan diterima dari dalam negeri ataupun luar negeri. Baik dari induk organisasi di Sumatera Barat. Semua dana yang diterima berasal dari dalam wilayah Silungkang dan sekitarnya. Semua sumbangan masyarakat Silungkang dan sekitarnya. Jadi ketika keputusan Koto Laweh disodorkan di Rapat SR Silungkang 21 Desember 1926 soal materi dan dana lainnya tidak mengubah rencana apa pun di bidang ini. Sekali lagi kita membuktikan sifat kemandirian dari Perang Rakyat Silungkang 1927 ini.

2.3   Secara Ideal
Ide untuk memberontak terhadap Belanda di Indonesia baru dimulai oleh PKI/SR pada tahun 1925, yaitu di Konferensi Prambanan dan kemudian ditularkan ke seluruh cabang-cabang PKI/SR di seluruh Indonesia. Tapi rakyat Minangkabau termasuk rakyat Silungkang dan sekitarnya telah lama memiliknya. Ketika Belanda pertama kalinya menginjakkan kakinya di pantai Sumtera Barat/Minangkabau rakyat mulai pula memeranginya dan semangat ini secara berlanjut diwariskan dan pada tahun 1927 Rakyat Silungkang dan sekitarnya sebagai pewaris mencetuskan perang melawan Belanda. Kini barulah dijawab pertanyaan :

2.3.1        Siapa yang Menggerakkan Perang Ini ???
Dengan uraian yang panjang lebar terbukti baik secara moral, material dan ideal Perang Rakyat Silungkang 1927 secara murni digerakkan oleh Rakyat Silungkang dan sekitarnya, tanpa bantuan dari pihak manapun. Jadi tidak ada hak atau apapun pihak manapun yang juga bisa mengklaim bahwa mereka turut berperan dalam perang itu. Tidak juga PKI, seperti yang tertulis di buku halaman 54 yang diterbitkan Kementerian Penerangan, juga tidak Demang Rusad. Jadi tidaklah pula Rakyat Silungkang harus malu dan takut untuk mengenang peristiwa itu, karena Perang Rakyat Silungkang 1927 “tidak ada kaitannya” sama sekali dengan PKI. Berbanggalah Rakyat Silungkang hendaknya. Negarapun mengakui kepahlawanan pejuang-pejuang tahun 1927 ini.

2.3.2        Apa penyebab Terjadi Peperangan Ini ??
Sumatera Barat sebelum masuk menjadi jajahan Belanda adalah sebuah kerajaan demokratis dan berdaulat penuh. Silungkang sebagai salah satu nagari dalam wilayahnya, termasuk dalam tatanan kerajaan itu dan menyandang gelar Gajah Tongga Koto Piliang dan gelar itu tidak diberikan kepada perseorangan, tetapi desa itu dan seluruh penduduknya dan ini memberikan rasa kebanggaan yang besar bagi seluruh penduduknya. Ketika penjajah menginjakkan kakinya di pasir pantai Kerajaan Minangkabau, perlawanan terhadap Belanda ini pun dimulai pula. Perlawanan ini berlangsung terus menerus dan dari generasi yang satu diwariskan kepada generasi berikutnya dan juga kepada rakyat Silungkang dan sekitarnya. Penjajahan Belanda dengan segala daya mengikis habis segala perlawanan rakyat Minangkabau ini dan celakalah siterjajah karena setiap kekalahan memukul juga mental mereka dan semakin lama mereka semakin kerdil dan penakut. Tapi disetiap ujung paling akhir dari ketakutan berdirilah di situ keberanian dan kerelaan ditindas pada ujung terakhirnya ialah perlawanan. Begitu juga terjadi di Silungkang, ketika penderitaan dan penghinaan terasa tak tertanggungkan lagi dan didorong oleh para cendekiawan dan alim ulama, meletuslah perlawanan itu. Meletus bagai gunung berapi dan siapapun tak sanggup lagi menghalanginya. Pada tanggal 1 Januari 1927 berangkatlah putra-putra terbaik Silungkang dan sekitarnya ke medan perang mengusir penjajah Belanda. Jadi dalam Perang Rakyat Silungkang 1927 ini yang bicara ialah kesadaran sebagai manusia dan bangsa serta hak untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang pernah besar, berjaya dan merdeka. 

2.3.3        Apa Tujuan yang Hendak Dicapai Dari Peperangan Ini ??
Akan disitir dialog “dua orang” anak Indonesia dari Minangkabau.25) Kedua anak Indonesia posisi dan kepentingannya berbeda. Yang satu sebagai pejuang melawan penjajah Belanda. Yang lain berdiri dengan pakaian dan tanda-tanda kebesarannya seorang kaki tangan Belanda yang setia. Yang kedua ini penuh kelicikan, kejam dan sanggup mengorbankan bangsanya demi kenikmatan pribadinya. Manusia yang sempat menikmati hasil kemerdekaan walaupun di tahun 1927 penindas pejuang kemerdekaan. Ia menyandang gelar terhormat : Datuk Perpatih Baringek. Jabatan terakhir Pembantu Gubernur Sumatera di Medan mulai 14 Maret 1946.  Orang itu ialah Rusad yang pada tahun 1928 itu baru berpangkat Mantri Polisi dan bertugas di Sawahlunto. Dihadapannya dalam pakaian terpidana dengan hukuman 28 tahun bersama dengan kawan-kawannya. Pejuang yang diakui oleh seluruh rakyat Indonesia dan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pejuang Perintis Kemerdekaan. Dialah Pejuang Tua Sulaiman Labay yang sampai akhir hidupnya di penjara Ambarawa tanggal 14 Agustus 1945, tak pernah mau mengkompromikan cita-cita kepada penjajah manapun juga, baik Belanda maupun Jepang. Tempat peristiwa dialog : pelataran Kantor Penjara Sawahlunto, tanggal tak jelas, bulan Maret 1928, jam 17.00.
Mantri Polisi Rusad berujar lebih dulu tentunya dalam bahasa daerah Minangkabau, yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan berarti sebagai berikut :
“Kamu semua telah merasakan tanganku. Tentu kamu menaruh dendam kepadaku. Tapi jangan harap kamu semua dapat membalas dendam itu. Sekalipun kini ada Sukarno mengikuti jejak kalian yang hendak merdeka dan hendak menjadi raja. Besok pagi kalian semuanya berangkat untuk jadi raja dan rakyat di hotel prodeo di tanah Jawa.”
Ketika kepada para pejuang diberikan kesempatan untuk menyambut ejekan ini, majulah Sulaiman Labay si Pejuang Tua. Diucapkannya terima kasih atas ejekan itu dan baru dinyatakannya apa yang ada di dasar hatinya yang paling dalam :
“Tidak ada dendam kami terhadap pegawai dan amtenar bahkan terhadap Belanda pribadi, kami hanya dendam terhadap penjajah Belanda.” Jadi, kalau kita mau menjawab “Apa tujuan yang hendak dicapai dengan perang ini?”, kiranya cukup kompeten jawaban yang diberikan Pejuang Tua itu, yaitu mengusir penjajah dan merdeka bagi Minangkabau khususnya Indonesia umumnya. Sebagai penutup kami kutipkan di sini sajak Chairil Anwar dengan judul “Kerawang Bekasi”, tidak seluruh, tapi cukup sebagian saja yang sangat mengena dalam mengenang peristiwa 1 Januari 1927.
Kami yang kini terbaring antara Kerawang Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegap hati
Kami sudah beri kami punyai jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memberi
arti 4-5 ribu jiwa
Kami hanya tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Teruskan teruskanlah perjuangan kami
Kenang-kenangkanlah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami yang terbaring antara Kerawang – Bekasi
***
 Jadi tidaklah perlu Rakyat Silungkang dan sekitarnya malu mengenang peristiwa keruh 1 Januari 1927. Yang memang murni digerakkan oleh rakyatnya. Tanpa dipengaruhi oleh siapapun atau aliran yang kini paling tidak disukai di Indonesia yang punya Asas Pancasila. Walaupun secara lokal Perang Rakyat Silungkang 1 Januari 1927 gagal tetapi di tingkat nasional tidaklah demikian. Dia adalah salah satu mata rantai perjuangan Indonesia serta seluruh rakyatnya dalam mencapai kemerdekaannya.
DAFTAR BUKU BACAAN
  1. Sejarah Nasional Indonesia jilid V, Edisi IV tahun 1984; Karangan Marwati Juned Pusponegoro dan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, cetakan Balai Pustaka.
  2. Brosur terbitan Jawatan Penerangan Sumatera Tengah.
  3. Saham H.O.S Tjokroaminoto Dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme; Karangan Drs. Masjhur Amin; Penerbit Nur Cahaya, cetakan ke II tahun 1983.
  4. Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia 1926 – 1948 – 1965. Terbitan Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) cetakan II tahun 1988.
  5. Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926 – 1927; Penerbit Mutiara tahun 1985. Karangan A.M Nasution.
  6. Pergerakan Rakyat Silungkang Dalam Pergerakan Kemerdekaan Republik Indonesia; disusun oleh H. Kamaruzaman Cs. 1984 (belum diterbitkan).